SASTRA KEAGAMAAN


   Sastra adalah suatu kegiatan kreatif  dan merupakan sebuah karya seni., dan sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya.[1] 

    Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia. 
   Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan bagaiman sosok seorang Umar bin Khotob yang punya kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan. 
   Sungguh sangat beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata. 
    Dalam sejarah Agama, mengajarkan bahwa semua wahyu pastilah bersifat kontekstual dan terkait dengan bahasa dimana wahyu itu di turunkan. Kalau tidak demikian maka pesan-pesan kenabian tidak akan dapat diterima oleh para pendengarnya, dan kehendak Tuhan menjadi tidak mungkin diikuti. Menjelang kenabian Muhammad, orang-orang Mekkah dan bangsa Arab pada umumnya tidak memiliki apa pun yang bisa dipakai sebagai pewahyuan kecuali bahasa arab mereka, serta kesastraan tingakat tinggi yang telah mereka kembangkan.[2] 
  Al-Quran merupakan Mukjizat estetik atau sastrawi. Diterima oleh kaum muslimin sebagai bukti bahwa al-Qur’an merupakan firman Ilahi. Supaya bisa diterima dan dihargai sebagai wahyu dari langit, maka al-Qur’an diturunkan kepada bangsa yang sudah sangat tinggi tingkat kesastraannya sehingga dapat disadari dan dirasakan bahwa al-Qur’an bukanlah buatan manusia.[3] 
   Selanjutnya, penulis ingin mengkerucutkan sastra yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan sastra sufi (tasawuf). berbicara tentang sastra tasawuf berarti seseorang harus berbicara tentang sejarah lama, sekalipun pada abad ini banyak juga yang mesti mendapat perhatian. Puisi-puisi dan syair keagamaan serta pendidikan dalam arti tasawuf banyak lahir pada abad ke 10-13, meskipun sebelum itu memang sudah ada. 
   Syair –sastra dan kesenian secara umum— mempunyai tujuan dan corak, tidak bebas begitu saja. Syair ada yang jauh dari hikmah, akan tetapi ada juga yang sebaliknya. Al-Quran mencela para penyair yang berdusta dan para penipu yang memanipulasi seseuatu, mereka membohongi prilaku dan perkataan mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syu’araa ayat 224-227; “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengambara di taip-tiap lembah. Dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan. Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal soleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan setelah menderita kezaliman dan orang-orang yang zalim akan tahu ketempat mana mereka akan kembali.” 
 Adapun gubahan syair tidak dilarang untuk mengembangkannya serta menukil dari selain kita sesuai dengan yang kita inginkan. Yang terpenting adalah tujuannya, subtansinya, dan fungsinya. 
   Mengutip pengantar Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam buku sastra dan agama, ia mengungkapkan bahwa dalam konteks sastra sufi, tak jarang kalangan sastrawan sufi yang tidak sekedar berimajinasi, malah mungkin bersifat spekulatif terhadap Tuhan, tetapi juga mengeluarkan ungkapan-ungkapan tentang kedekatan dan bahkan penyatuan dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan sufistik tentang penyatuan Tuhan dengan manusia dalam nomenklatur Sufisme disebut dengan Syatahat.[4] 
  Pengertian bahasa, syair, puisi tasawuf juga kadang mempunyai arti sendiri pula. Kata-kata cinta, anggur (minuman keras), kekasih, piala, mabuk adalah kata-kata simbolik yang banyak dijumpai dalam puisi atau syair-syair kaum sufi, yang sebenarnya mempunyai arti yang lain sama sekali. Umumnya dalam arti hubungan insan dengan Tuhannya. Dari sini pula dikenal kata al-Hubbul Ilahi, the God-intovicated love atau mencintai Tuhan.[5] 
   Dalam dunia tasawuf sastra sufi memang mempunyai tempat tersendiri. Penyair-penyair sufi berbicara tentang mikrokosmos dan makrokosmos sering tidak dimengerti atau sering menimbulkan salah pengertian. Akan tetapi pikiran-pikiran (penyair) juga bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dari masalah-masalah berat yang bersifat teologis filosofis seperti soal tauhid, takdir, wahyu, kenabian, alam semesta, sampai pada masalah social, etika, tingkah laku, terjalin dalam bentuk cerita, anekdot dengan melibatkan para malaikat, nabi, raja, sampai pada manusia dan bintang.[6]

[1]wordpress.com/peran-sastra-dalam-kancah-pendidikan-bangsa/
[2] Ismail, Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, (Yogyakarta : Bentang Budaya, 1999), hal. 33
[3]Ibid., hal.34
[4]Saridjo,Marwan, Sastra dan Agama : Tinjauan Kesustraan Indonesia Modern, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara dan Penamadani , 2006), Hal, xx
[5] Ibid., hal 165
[6] Ibid., hal 172

Komentar

Postingan Populer