KEBUDAYAAN



     Kebudayaan, merupakan sepatah kata yang memiliki arti sangat luas. Ia meliputi ilmu pengetahuan, filsafat, kesenian, adat istiadat, agama dan sebagainya. Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Agama tidak termasuk dalam kebudayaan. Agama adalah ciptaan Tuhan sedangkan kebudayaan adalah ciptaan manusia.[1] 
    Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan-perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiaannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi, cita-cita, paham, dan terutama keterikatan pada nilai-nilai. Atau secara umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan baik.[2] 
   Dalam kajian antropologi, kebudayaan mempunyai arti sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[3]Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya naluri beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluriahnya bisa menjadi tindakan kebudayaan. 
    Menurut Koentajaningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari “budi dan daya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa.[4] 
     Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:  
1.  Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia: wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya. 
2. Kompleks aktivitas, berupa aktifitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkrit, dapat diamati dan diobservasi. Wujud ini sering disebut sistem sosial. Sistem ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya. Apapun bentuknya, pola-pola aktifitas tersebut ditentukan oleh gagasan, pikiran dan konsep-konsep baru serta tidak mustahil dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang berinteraksi tersebut. 
3. Wujud sebagai benda, aktifitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk  mencapai tujuannya. Aktifitas itu menghasilakan suatu benda untuk keperluan hidup manusia. Hasil dari cipta karya tersebut masuk kedalam kebudyaan yang bersifat fisik,, mulai dari benda yang diam sampai yang bergerak.[5] 
    Selanjutnya ada yang mengartikan kebudayaan sebagai cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial masyarakat dalam suatu ruang dan waktu. Kebudayaan terbagi menjadi 7 bagian yaitu : (1) sosial atau pergaulan manusia, (2) ekonomi, hubungan manusia dengan materi, (3) politik, hubungan manusia dengan kekuasaan untuk mengatur sosial dan ekonomi, (4) pengetahuan, hubungan manusia dengan kebenaran dan hubungan manuisa dengan teknik bekerja, (5) seni, hubungan manusia dengan bentuk-bentuk kesenangan, (6) filsafat, hubungan manusia dengan hakikat kebenaran dan nilai, (7) agama, hubungan manusia dengan yang kudus atau bersifat ghaib.[6] 
    Dalam Islam, kebudayaan diartikan sebagai cara berfikir dan merasa takwa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial.[7] 
    Takwa adalah sikap hidup atau pandangan yang dibentuk oleh akidah, ibadat dan ajaran Quran dan Hadits. Jadi sikap itu dibentuk oleh agama. Intisari taqwa adalah menjaga hubungan dengan Allah. Ibadat adalah melakukan hubungan dengan Dia. Apabila ibadah itu dijalankan dengan ihsan maka tumbuhlah keikhlasan dalam ibadat. Niat ibadah meningkat, jikalau mula-mula beribadah hanya untuk mendapat pahala atau masuk surga, maka sekarang semata-mata karena Allah. Ikhlas dalam beribadah itulah yang membentuk takwa, tiap laku dan perbuatan dikerjakan kerena menaati Allah, menjalankan dan menjauhkan larangannya dalam kehidupan, maka terjagalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan taqwa yang dituntut oleh Tuhan dari hambanya bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri. Apakah manusia itu takwa atau tidak, yang akan rugi adalah hambanya. Tanpa mengerjakan suruhan Tuhan tidak akan terwujud salam dalam kehidupan. Dengan demikian takwa itu adalah kerena Allah, tapi bukan untuk-Nya, melainkan untuk hambanya sendiri. Nilai itulah yang terkandung oleh tiap laku perbuatan yang dikerjakan dengan takwa. Cara berfikir dan cara merasa takwa membentuk konsep dan melahirkan tindakan yang takluk kepada suruhan dan larangan Tuhan, sehingga kehidupan dunia yang dijalankan menempuh jalan syariat.Tiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan berpangkal dari fikiran dan perasaan. Pemikiran memutuskan suatu perkara, perasaan menimbulkan kemauan untuk melaksanakan putusan tersebut. Pemikiran dan perasaan dalam kebudayaan Islam tidak diasaskan pada pengetahuan khalifah  yang nisbi, akan tetapi pada pengetahuan Rabb yang mutlak. Pengetahuan Rabb itu dihimpun dalam kitab al-Quran dan dilanjutkan kepada Hadits. Takwa adalah menjaga hubungan dengan Tuhan. Supaya hubungan itu terjaga maka Khalilfah dalam berfikir haruslah menaati Rabb-nya dan dalam beramal haruslah mengikuti Rasulullah. Jadi cara berfikir yang membentuk kebudayaan Islam itu merujuk secara langsung kepada al-Quran dan Hadis. Dalam Islam cara berfikir ini biasa disebut dengan istilah Ijtihad.
    Kebudayaan Islam menurut Ismail Raji al-Faruqi dalam kenyataannya adalah “budaya qurani”; karena baik definisi, struktur, tujuan, maupun metode untuk mencapai tujuan tersebut secara keseluruhan diambilkan dari rangkaiaan wahyu yang telah diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Dari al-Quran, orang Islam tidak hanya  mengambil pengetahuan mengenai realitas ultima. Secara mendasar, prinsip-prinsip yang diambilkan dari al-Quran juga mencangkup tentang alam, manusia dan mahluk hidup lainnya, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, kesenian, dan yang berkaitan tentang proses kehidupan itu sendiri. Melalui al-Quran prinsip-prinsip dasar sudah disediakan bagi pembentukan sebuah kebudayaan yang lengkap. Tanpa al-Quran, kebudayaan Islam tidak akan pernah muncul; tidak ada negara, filsafat, hukum, masyarakat, kesenian, bahkan agama.[8]





[1]Ali, Audah, Dari Khazanah Dunia Islam,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), hal. 34
[2]Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah pengantar, (Jakarta—Yogyakarta : Kansius dan BPK Gunung Mulia, 1984), hal. 15
[3]Koentajaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), cet 8, hal.
180
[4]Koentajaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1980), hal. 193
[5]M. Munandar, Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar, (Bandung : Pt Eresco, 1993), hal. 13
[6] Gazalba. Sidi, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1978), hal. 166-167
[7]Gazalba, sidi, Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), cet 1, hal. 16
[8]Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, Terj. dari Cultural Atlas of Islam oleh Hartono
Hadikusumo, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), cet 1, hal.1-2

Komentar

Postingan Populer