PENDIDIKAN ISLAM
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan”, yang mengandung arti “perbuatan, hal, cara”.[1] Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.[2]
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik. Selain itu
pendidikan juga berarti sebagai usaha yang dilakukakn oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar
menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwasanya
pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Pendidikan
merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri seseorang. Pendidikan yang
baik merupakan jalan untuk mencapai atau mendekatkan diri kepada Tuhan, dan
melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Naquib al-Atas Tarbiyah secara semantik tidak khusus ditunjukan untuk manusia, tetapi dapat dipakai kepada mahluk lain. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakan.[3] Adapun Ta’dib mengacu pada pengertian (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari pengertian tersebut ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.
Pendidikan
Islam secara fungsional merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al-Insan
al-Kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam
posisi yang demikian, Pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan
social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat
ideal ke masa depan.[4]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara continue dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kendungan sampai akhir hayat.[5]
Dalam
konteks budaya, pendidikan Islam mempunyai tugas sebagai alat transmisi
unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga
identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. Adapun
sebagai interaksi antara potensi dan budaya, tugas pendidikan Islam adalah
sebagai proses transaksi (memberi, dan mengadopsi) antara manusia dan
lingkungannya. Dengan proses ini manusia akan dapat mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki
kodisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya.[6] Untuk
menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik, hendaknya terlebih
dahulu dipersiapkan situasi kondisi yang bernuansa elastis, dinamis, dan
kondusif sehingga tujuan yang ingin dicapai berhasil.
Selanjutnya, tujuan pendidikan Islam diantaranya adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.[7] Sementara tujuan akhir pendidikan Islam yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah.[8]
Menurut
Khaldun, pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis dan
empiris. Melalui pendekatan ini, dapat memberikan arah terhadap visi tujuan
pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu: (1) pengembangan kemahiran
dalam bidang tertentu. Diperlukan pendidikan secara sistematis dan mendalam
agar tujuan ini bisa tercapai, (2) penguasaan keterampilan professional sesuai
dengan tuntutan zaman, dalam hal ini pendidik hendaknya ditujukan untuk
memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu, (3) pembinaan
pemikiran yang baik, hendaknya pendidikan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan
dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerja sama social
dalam kehidupannya guna mewujudkan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat.[9]
Menurut
al-Ghazali, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu : (1)
tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu
sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, (2) tujuan utama pendidikan Islam
adalah pembentukan Akhlaq al-Karimah, (3) tujuan pendidikan Islam adalah
mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[10]
Dengan ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang di programkan akan mampu
mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.
A. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Pendidikan dalam konteks Islam mempunyai berbagai landasan (dasar-dasar)
diantaranya;
1. Al-Quran
Merupakan suatu dasar landasan bagi setiap umat islam, didalamnya terdapat
berbagai petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal.
Kedudukan al-Quran sebagai dasar pendidikan dapat dipahami dari ayat al-Quran
itu sendiri, yang terdapat dalam surah An-Nahl ayat 64, Artinya: Dan kami tidak menurunkan
Kitab (al-Quran): ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.
Selanjutnya, al-Quran juga menjelaskan tentang pendidikan dalam surah Shaad
ayat 29, Artinya: Kitab (al-Quran) yang Kami
turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar
orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
Dari ayat-ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa al-Quran merupakan rujukan
pertama bagi proses pendidikan maupun pengajaran bagi umat manusia khususnya
umat muslim. Semua pengetahuan yang terdahulu dan yang akan datang sudah
dituliskan dalam al-Quran, tinggal bagaimana seseorang mengkaji kembali
ayat-ayat yang sudah dituliskan dan mengaplikasikannya kedalam kehidupan.
2. Sunnah (hadits)
Dasar pendidikan yang selanjutnya adalah sunnah Rasullullah, yang didalamnya
terdapat kehidupan sehari-hari Rasul, baik yang bersifat muamalah, dan syariah.
Dari kehidupan Rasulalloh dapat diambil hikmah, pelajaran dan suri tauladan
yang baik untuk di ikuti. Sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat
21, Artinya: sungguh, telah ada pada diri
Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap
rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Nabi mengajarkan dan memperaktekan sikap dan amal baik kepada istri dan
para sahabatnya dan seterusnya mereka mempraktekan pula seperti yang
diperaktekan Nabi dan mengajarkan pula kepada orang lain. Perkataan, perbuatan
dan ketetapan Nabi inilah yang disebut Sunnah (Hadits).
3. Sikap dan perbuatan para Sahabat
Pada masa Khulafa al-Rasyidin
sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Melalui sikap dan
sifat-sifat para sahabat dalam kehidupan sehari-hari menjadi dasar pedoman
pendidikan saat itu, disamping al-Quran dan hadits. Sifat dan sikap baik selalu ditanamkan dalam
setiap laku kehidupan.
4. Ijtihad
Setelah jatuhnya pemerintahan Ali bin Abi Thalib, puncak kekuasaan Islam
diteruskan oleh dinasti Umayah yang dipimpin oleh Muawwiyah bin Abu Sufyan.
Pada masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan sampai ke
Spanyol. Perluasaan ini pun diikuti oleh para ulama dan guru-guru. Maka
terjadilah pula perluasaan pusat-pusat pendidikan yang tersebar dikota-kota
besar.
Dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan, berarti telah terjadi
perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai interaksi nilai-nilai
budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang kadang tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits
sehingga membutuhkan cara untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Dari
permasalahan seperti inilah muncul gagasan yang dimunculkan para ulama (Ijtihad).
Para Fuqaha mengartikan Ijtihad sebagai daya berfikir dengan
menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam, dalam hal-hal
yang belum jelas atau ditegaskan hukumnya dalam al-Quran dan hadits dengan
syarat-syarat tertentu, seperti; ijma,
qiyas, istishan dan lain-lain.
B. Unsur-unsur Pendidikan
Dalam proses pendidikan terdapat dua unsur yang sangat penting bagitercapainya
sebuah tujuan pendidikan, yaitu;
1. Pendidik
Salah
satu unsur penting yang tidak boleh dilupakan dalam proses pendidikan adalah
seorang pendidik. Dipundaknya terletak tanggung jawab yang amat besar dalam
upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang ingin dicapai. Secara umum
pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Secara
khusus, pendidik dalam perspektif Islam adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[11]
Pendidik dapat juga diartikan sebagai seorang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi
dekat dengan Khaliqnya. Berkenaan dengan konsep ini, an-Nahlawi menyimpulkan
bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah Tazkiyat an-Nafs,
yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada
Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada
fitrah-Nya.[12]
Dalam pendidikan Islam seorang pendidik tidak hanya menyiapkan seorang
peserta didik memainkan peranannya sebagai individu dan anggota masyarakat
saja, tetapi juga membina sikapnya terhadap agama, tekun beribadat, mematuhi
peraturan agama, serta menghayati dan mengamalkan nilai luhur agama dalam
kehidupan sehari-hari. Dan agar fungsi-fungsi tersebut dapat terlaksana dengan
baik maka seorang pendidik harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
A. Beriman.
Seorang pendidik Islam harus seseorang yang beriman, yaitu meyakini akan
keesaan Allah. Iman kepada Allah merupakan asas setiap aqidah. Dan dengan
bagaimana Allah SWT selanjutnya akan diikuti pula dengan keimanan kepada yang
lainnya.
Keyakinan terhadap keesaan Allahseperti diatas disebut juga “tauhid”. Kalimat tauhid dalam Islam
adalah kalimat: “la ilaha illaAllah”
yang berarti: Tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam,
sehingga Islam dikenal sebagai agama Tauhid. Yaitu agama yang mengesakan Allah.
Menurut Al-Faruqi “iman” atau “tauhid” inti dan esensi dari ajaran Islam,
merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib
manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prinsip “idealitionality”, teologi, kapasity of man,
melleability of nature dan responsibility
and judment, dan sebagai falsafah
dan pandangan hidup memiliki implikasi dalam segala aspek kehidupan dan
pemikiran manusia, seperti dalam sejarah, pengetahuan, filsafat, etika, sosial,
ummah, keluarga, ekonomi, ketertiban dunia dan estetika.[14]
Oleh karena itu iman atau tuhid bukan saja merupakan kepercayaan yang
bersifat pribadi akan tetapi mempunyai eksistensi terhadap seluruh aspek
kehidupan. Oleh karena itu seorang pendidik aIslam harus mempunyai keimanan
yang benar. Iman yang benar harus memiliki tiga syarat, yaitu:
(1) Pengakuan dengan hati.
(2) Pengucapan dengan lidah, dan
(3) Pengamalan dengan anggota badan.
B. Bertakwa.
Syarat yang terpenting yang harus pula dimiliki oleh pendidik Islam adalah
“taqwa”. Yang berarti menjaga diri agar selalu mengerjakan perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya, serta merasa takut kepada-Nya baik secara senmbunyi
maupun terang-terangan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan dan
menganjurkan untuk bertaqwa, seperti dalam Firman Allah SWT: Artinya:“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (Q.S. 3:102).
C. Ikhlas.
Pendidik yang ikhlas hendaklah berniat semata-mata karena Allah dalam
seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat,
pengawasan atau hukuman yang dilakukannya. Ikhlas bukan berarti ia tidak boleh
menerima imbalan jasa, akan tetapi jangan terniat dalam hati bahwa pekerjaan
mendidik yang dilakukannya karena mengharapkan mateeri, akan tetapi semata-mata
sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Karena ia menerima gajji, itu karena
rezeki dari Allah SWT yang tentu harus pula
diterimanya, dan kalau tidak ada gaji ia akan tetap melaksanakan tugas.
Ikhlas dalam perkaataan dan perbuatan adalah sebagian dari asa iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas. Perintah untuk ikhlas tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas, Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S. 98:5).
D. Berakhlak.
Seorang pedidik haruslah mempunyai akhlak
yang baik. Seorang yang berakhlak adalah seorang yang mengisi dirinya
dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang
tercela. Seorang yang berakhlak mulia menurut Rajhmat Djantika ditandai dengan:
(1)Melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
(2)Memberikan hak yang harus diberikan kepada yang
berhak,
(3)Melakukan kewajiban terhadap dirinya, Tuhannya,
sesama manusia, makhluk lain, terhadap alam dan lingkungan, dan terhadap segala
yang ada secara harmonis,
(4)Menempati martabat mulia dalam pandangan umum.
Karena pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia, maka tugas kerasulan Nabi
Muhammad keseluruhannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Seperti
sabda Rasulullah SAW “sesungguhnya saya ini diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. (H.R. Ahmad Ibn Hanbal).
E. Berkepribadian
yang Integral (Terpadu).
Menurut Zakiah Dradjat, kepribadian yang terpadu dapat menghadapi segala
persoalan ;dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja
seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap masalah
dapat dipahaminya dengan objektif, sebagaimana adanya. Maka sebagai guru ia
dapat memahami kelakuan anak didik sesauai dengan perkembangan jiwa yang sedang
dilaluinya. Peernyataan anak didik dapat dipahami secara objektif, artinya
tidak ada ikatan dengan prasangka atau emosi yang tidak menyenangkan.[15]
Sebagai manusia biasa tentu saja pribadi guru tidak akan terlepas dari berbagai
kesulitan seprti; kesulitan ekonomi, kesulitan dalam rumah tangga, kesulitan
dalam pergaulan ditengah-tengah masarakat, kesulitan dalam meningkatkan karir
dan sebagainya.
F. Cakap.
Menurut Burlian Somad, untuk dapat menjadi pendidik yang memiliki
kecakapan, maka harus:
a.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembuatan standar kualitas minimal(tasmin),
b.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembuatan unit-unit bahan pembentukan kualitas
minimal itu (ubak);
c.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembentukan dan pengembangan tasmin pada diri
anak didik dengan memperggunakan ubak itu,
d.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan pembuatan standar pengukur kualitas diri anak didik
(stapek)
e.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pelaksanaan pengukuran tasmin dengan mempergunakan stapek itu,
f.Menguasai
ilmu-ilmu yang diperlukan bagi melaksanakan management pendidikan yang dapat
membawa kemajuan,
g.Terlatih dan
terbiasa mengerjakan/mempraktekan yang tersebut dari poin 1 s/d poin 6 itu
tadi.[16]
C. Bertanggung jawab.
Islam menempatkan manusia di dunia ini dalam kedudukan istimewa yaitu
sebagai khalifah Allah di atas bumi ini. Firman Allah SWT: Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (Q.S. 2:30).
Sebagai khalifah ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada
Allah SWT. Setiap pribadi harus menyadari bahwa kelak segala amal dan
perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat; maka
didalam hidupnya ia harus berusaha agar apa yang dilakukannya di atas dunia ini
hanya semata-mata karena Allah dan menurut keridhaan Allah, sehingga semua amal
dan perbuatannya bernilai ibadat.
Al-Ghazali berkata; mahluk yang paling mulia di muka bumi ini adalah
manusia. sedangkan yang paling mulia dalam penampilannya adalah kalbunya. Guru
selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu, serta menuntunnya
untuk dekat kepada Allah, oleh karena itu mengajarkan ilmu bukan hanya sekedar
beribadah kepada Allah semata, tetapi karena khilafah Allah. Maksud khilafah
disini adalah karena kalbu orang yang alim merupakan sifat Allah yang paling
khusus. Orang alim ibarat bendaharawan yang menguasai khazanah Allah yang
paling berharga. Adakah kedudukan lain yang lebih agung bila dibandingkan
dengan kedudukan seorang hamba sebagai perantara antara Tuhannya dengan mahluk
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, serta menuntun mereka menuju surga tempat
mereka kembali.[17]
D. Keteladanan
Suatu hal yang sangat penting pula yang harus diperhatikan oleh guru agama
adalah filsafat “keteladanan” karena guru adalah pembimbing murid-muridnya dan
menjadi tokoh yang akan ditiru, maka kepribadiannyapun menjadi teladan bagi
murid-muridnya.
Menurut Zakiah Dradjat, betapapun baiknya kurikulum dan cukupnya buku serta
alat pelajaran namun tujuan kurikulum itu tidak akan tercapai jika guru melaksanakan
kurikulum tersebut tidak memahami, tidak menghayati dan tidak berusaha
mencapainya dengan keseluruhan pribadi dan tenaga yang ada padanya.[18]
E. Memiliki Kompetensi Keguruan.
Kompetensi keguruan adalah kemampuan yang diharapkan yang dapat dimiliki
oleh seorang guru. Pada mulanya kompetensi ini
diperoleh dari “pre seervicce
training” yang kemudian dikembangkan dalam pekerjaan profesional guru dan
dibina melalui “in service training”.
Pada dasarnya guru harus memiliki tiga kompetensi, yaitu; kompetensi
kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan, dan kompetensi dalam cara
mengajar.
a.Kompetensi Kepribadian
Setiap guru memiliki kepribadiannya sendiri-sendiri yang unik. Tidak ada
guru yang sama, walaupun mereka sama-sama memiliki pribadi keguruan. Jadi
pribadi keguruan itupun “unik” pula, dan perlu diperkembangkan secara terus
menerus agar guru itu tampil dalam:
1)Mengenal dan mengakui harkat dan potensi dari setiap individu atau murid yang diajakan,
2)Membina suatu suasana sosial yang meliputi
interaksi belajar mengajar sehingga amat bersifat menunjang secara moral
(batiniah) terhadap murid bagi terciptanya kesepahaman dan kesamaan arah dalam
pikiran serta perbuatan murid dan guru,
3)Membina suatu perasaan saling menghormati, saling
bertanggung jawab dan saling percaya-mempercayai antara guru dan murid.
b. Kompetensi
penguasaan atas bahan pengajaran
Penguasaan yang mengarah kepada spesialisasi (takhasus) atas ilmu atau kecakapan/pengetahuan yang diajarkan.
Penguasaan yang meliputi bahan bidang sudi sesuai dengan kurikulum dan bahan
pendalaman aplikasi bidang studi. Kesemuanya ini amat perlu dibina karena
selalu dibutuhkannya dalam:
1)Menguraikan ilmu pengetahuan atau kecakapan dan
apa-apa yang harus diajarkannya kedalam bentuk komponen-komponen dan
informasi-informasi yang sebenarnya dalam bidang ilmu dan kecakapan yang
bersangkutan.
2)Menyusun komponen-komponen atau
informasi-informasi itu sedemikian rupa baiknya sehingga akan memudahkan murid
untuk mempelajari pelajaran yng diterianya.
c. Kompetensi
dalam cara-cara mengajar
Kompetensi dalam cara-car mengajar atau keterampilan mengajar suatu bahan
pengajaran sangat diperlukan guru. Khususnya keterampilan dalam:
1)Merencankan atau menyusun setiap program satuan
pelajaran, demikian pula merencanakan atau menyusun keseluruhan kegiatan untuk
satu kesatuan waktu (catur wulan/semester atau tahun ajaran),
2)Mempergunakan dan mengembangkan media pendidikan
(alat bantu atau alat peraga) bagi murid dalam proses belajar yang diperlukannya.
3)Mengembangkan dan mempergunakan semua
metode-metode mengajar sehinggaterjadilah kombinasi-kombinasi dan variasinya
yang efektif.
2. Pendidik Islam Dan Interaksi Edukatif
Peran pendidik dalam interaksi edukatif sama dengan guru pada umumnya.
Pendidik mempunyai peran yang penting dalam interaksi edukatif di sekolah.
Peran dan kedudukan guru yang tepat dalam interaksi tersebut akan menjamin
tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Menurut Zakiah Dradjat, unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam
masalah belaja adalah sebagai berikut:
1)Kegairahan dan kesediaan untuk belajar
2)Membangkitkan minat murid
3)Menumbuhkan sikap dan bakat yng baik
4)Mengatur proses belajar mengajar
5)Berpindahnya pengaruh belajar dan pelaksanaanya
dalam kehidupan nyata
6)Hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.[19]
Kutipan di atas menunjukan bahwa guru hendaklah berusaha membeikan
bimbingan dengan penuh semangat kerja, membangkitkan minat serta menumbuhkan
sikap dan bakat yang baik, mengorganisir proses belajar mengajar, sehingga
belajar di sekolah dapat ditransferkan ke alam nyata yang kesemuanya itu
dilakukan melalui hubungan yang manusiawi.
Peran guru dalam interaksi edukatif adalah sebagai berikut:
(1)Fasilitator, yakni menyedikan situasi dan kondisi
yang dibutuhkan individu yang belajar,
(2)Pembimbing, yakni memberikan bimbingan terhadap
siswa dalam interaksi belajar mengajar, agar siswa tersebut mampu belajar
dengan lancar dan berhasil secara efektif dan efesien,
(3)Motivator, yakni memberikan dorongan semangat agar
siswa mau giat belajar,
(4)Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan
belajar siswa maupun guru, dan
(5)Manusia sumber, dimana guru dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh siswa, baik berupa pengetahuan, keterampilan
maupun sikap.
3.
Peserta Didik
Anak didik merupakan Raw Material
(bahan mentah) di dalam proses tranformasi yang disebut pendidikan. Berbeda
dengan komponen-komponen lain dengan sisitem pendidikan karena kita menerima
material ini setengah jadi, sedangkan komponen-komponen lain dapat dirumuskan
dan disusun sesuai dengan keadaan fasilitas dan kebutuhan yang ada.[20]
Dalam membicarakan peserta didik, ada dua hal yang penting yang harus
diperhatikan oleh para pendidik, yaitu:
A. Hakikat
anak didik
Jika membicarakan tentang anak didik, sesungguhnya kita sedang membicarakan
hakikat manusia yang membutuhkan bimbingan. Dalam kajian psikologi, para ahli
mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap manusia.
Aliran psikoanalisis beranggapan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya
digerakan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis
yang sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak lagi bebas untuk
menentukan nasibnya sebab tingkah laku manusia semata-mata digerakan untuk
memuaskan kebutuhan dan insting biologisnya.
Sedangkan aliran humanistik beranggapan bahwa manusia senantiasa dalam
proses wujud (becoming) namun tidak
pernah selesai dan tidak pernah sempurna. Tingkah laku manusia tidak
semata-mata digerakan oleh dorongan untuk
memuaskan dirinya sendiri, namun oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan
untuk mencapai sesuatu.
Selanjutnya aliran behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan
reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh
lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan
lingkungannya. Hubungan interaksi itu diatur olehhukum-hukum belajar,
pembiasaan, dan peniruan.[21]
B. Peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[22]
Melalui paradigma di atas menjelaskan behwa peserta didik merupakan
subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain untuk membantu
mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya
menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan
tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik.[23]
Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus dimiliki peserta didik antara lain
adalah :
a.Belajar dengan niat
ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah.
b.Mempunyai sifat yang berimbang
antara duniawi dan ukhrawi.
c.Bersikap tawadhu.
d.Menjaga fikiran dari berbagai
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Tidak fanatic terhadap suatu
aliran.
e.Mempelajari ilmu-ilmu yang
terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f. Belajar secara bertahap dan
berkelanjutan.
g.Mempelajari suatu ilmu sampai
tuntas untuk kemudian berlanjut pada ilmu yang lainnya.
h.Memahami nilai-nilai ilmiah
atas ilmu yang dipelajari.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah
sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai yang dapat
bermanfaat baik untuk duniawi maupun ukhrawi.[24]
[1]Poerwadarminta,
WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1976),
hal. 250
[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam
Mulia, 1994), hal. 1
[3]Shed
Muhammad Al-Naquib, Konsep Pendidikan
dalam Islam, terj, Haidar Bagir,
(Bandung : Mizan, 1984), hal.
66
[6] Hasan Langgalung, Pendidikan
Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta
: Pustaka al-Husna, 1988),
hal .57
[7] Omar Muhammad
al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,hal 410
[8] Hasan Langgulung, Manusia
dan Pendidikan; Suatu Anlisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1989),
hal. 67
[9] Mohamad Athiyah
al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A.
Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1984),
hal. 190
1992), hal. 304
[12] An-Nahlawi, op.
cit., h. 239.
[13] An-Nahlawi. Loc.
cit
[14]Ismail Raji
al-Faruqi, Tauhid its Implication for
Thought and life, (Brentwood AS:
The International Institute or
Islamic Thought, 1982), hal.10
[15]Zakiah
Darajat, Keperibadian Guru, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1980), hal. 15
[16]Burlian
Somad, Beberapa Persoalaan dalam
Pendidikan Islam, (Bandung : PT Al-Maarif, 1981), cet, ke-1, hal. 107
[17]Al-Ghazali, Ihya Ulummuddin, (Beirut : Daar al-Fikr,
1939), jilid, 1, hal. 13
[18]Pedoman Bahan Penataran Guru-guru Agama Pada Sekolah
Umum. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1975), hal. 36
[19]Zakiah
Darajat, op.,cit. Hal 23-24
[20]Ramayulis,
op.,cit. hal. 48
[21]Hasan
Lunggulung, Teori-teori Kesehatan Mental,
(Selangor : Pustaka Muda, 1983), hal.
240
[23]Al-Rasyidin, Rizal, loc.
cit
[24] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan,
H.M.D.Dahlan, (Bandung
: CV. Diponogoro, 1987),
hal. 24
Komentar
Posting Komentar