RAHIL
Dia adalah seorang perempuan yang terlahir di negri Tanah
Rencongnya Cut Nyak Dien, tepatnya di Nanggroe Aceh Darussalam, 23 november, 22
tahun yang lalu. Dia anak ke-empat dari lima saudara kandung; dua laki-laki dan
tiga perempuan. Bapaknya seorang dokter, dan ibunya seorang guru sekolah. Dia
dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama; yang membuatnya terlihat sangat
religius dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak banyak yang dapat diceritakan
darinya; karna dia cendrung pendiam dan tertutup.
Kini dia sedang menyelesaikan studi di salah satu universitas negeri
di daerah jakarta dan tinggal di daerah ciputat, tanggerang selatan. Teman-teman
dikampus biasa memanggilnya dengan sebutan “acil”. Nama yang begitu imut untuk
seorang wanita yang menjelang dewasa. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika
dia masih semester 1; dalam sebuah
ruang yang begitu sesak dengan para mahasiswa baru yang saling memperkenalkan
diri kepada para pengurus pendidikan.
Dia begitu menawan ketika memperkenalkan dirinya, sifatnya
yang pemalu nampak jelas di wajahnya. Fashionnya
berbeda dengan anak-anak lain yang ada di dalam ruangan itu –dia terlihat
begitu anggun dengan gaya nyentrik ala santriwati— yang membuat aku langsung
menaruh perhatian khusus padanya. Dia selalu menjadi perhatianku setiap berada
dalam lingkungan kampus.
Semakin hari perasaanku
semakin kuat padanya. Dirinya selalu masuk dalam setiap mimpi yang ku alami. Pernah
suatu ketika dalam waktu seminggu aku tiga kali bermimpi bertemu dengannya. Di
mimpi yang pertama dia berkata kalau memang mau serius ya serius, cepat
selesaikan kuliah lalu kerja. Di mimpi yang kedua dia hanya diam saja, tak ada
kata yang terlontar dari mulutnya. Dan di mimpi yang ketiga aku benar-benar berinteraksi
dengannya. Aku banyak bicara dengannya dan aku punn mengungkapkan perasaan
cintaku padanya. Dia begitu nyata dalam mimpiku.
Bagiku, Ia adalah cahaya yang begitu indah; yang mampu mengalahkan
semua kegelapan di hati, ia bagaikan embun sejuk yang menyegarkan di pagi hari,
Ia begitu sempurna sehingga aku hanya bisa memuja dari kejauhan sambil
menuliskan sebuah puisi cinta di selembar kertas putih usang dan berharap kelak
ia sudi untuk membaca, setidaknya melihat walau hanya sekejap. Sisanya, aku tak
lagi berharap!.
Tak terasa sudah empat tahun berlalu sejak pertama kali aku dan dia
berbicara, dalam tempo yang begitu singkat. Malam itu, di depan halaman sebuah
bank swasta aku sengaja menunggunya pulang. Irama jantung yang berdegup kencang
dengan nafas yang tak teratur ku beranikan diri untuk memanggil dan
mengungkapkan perasaan cintaku padanya.
“Rachil”, panggilku. Dia berhenti, lalu mencari sumber suara yang
memanggilnya. Aku berdiri sambil melambaikan tangan. “Iya, kak. Ada apa?” tanyanya
sambil menghampiri. “Mau ngobrol
sebentar, punya waktu?” tanyaku padanya. “Oh,
iya. Tapi aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi gerbang kosan di kunci.”
jawabnya. Yasudah, sekarang duduk dulu disini—sambil menunjukan tempat duduk
yang sudah kusiapkan untuknya.
“Jadi,
mau ngobrol apa kak?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu aku semakin gugup—Jantung ini rasanya sedang dipacu dalam
tempo 320/menit. Aku diam sejenak—sambil mengeluarkan sebatang rokok dan mulai
membakarnya— berharap dengan
begitu dapat membuatku tenang, setidaknya tidak terlihat gugup didepannya.
Aku mulai memberanikan diri lalu bicara padanya, “Jadi begini, cil! Menurut
pendapat kamu, berbohong pada diri sendiri itu hukumnya apa?” kataku. “Maksudnya?”
Tanyanya. “Ya apa hukum membohongi diri sendiri?” Jawabku. “Ya tidak baik,
kalau masalah hukum aku tidak berani untuk berkata haram, atau apalah itu.
Bagiku membohongi diri sendiri adalah perbuatan seorang pengecut.” Jawabnya.
Mendengar jawabannya itu aku tersenyum. Dia pun menjadi bingung
dengan sikapku, lantas memandangiku dengan tatapan penuh tanya. “Aku gak ngerti
arah pembicaraan kakak, maksudnya apa sih?” Katanya padaku.
Sebenarnya aku cuma mau mengungkapkan perasaanku padamu, cil. “Aku
telah terjatuh dalam lembah cinta yang begitu dalam, sehingga tak mampu lagi
bangkit dan keluar dari jerat-jerat khayal ini.
Hati dan fikiranku sudah terkontaminasi oleh bayang-bayang dirimu. Sering aku
berusaha untuk mengelak, tapi percuma. Dirimu sudah begitu kuat masuk dalam
diriku. Aku tak sanggup jika harus
membohongi diriku untuk tidak mengatakan bahwa: aku telah jatuh hati padamu.”
Dia hanya diam saja mendengar ucapanku. Wajahnya memerah,
tingkahnya menjadi tak menentu—kadang dia berdiri, lalu duduk, lalu berdiri,
dan duduk kembali. Sambil tersenyum dia berkata, “kakak, kita kan gak saling
mengenal! Kok bisa kakak bilang cinta sama aku?”
“Mungkin bagimu kata yang
aku ucapkan itu terlalu aneh, tapi bagiku tidak.” Kataku padanya. Kau telah membuatku terpatri, hingga bayangmu
selalu masuk dalam setiap lembar imaji. Aku tahu, sebelumnya kita memang tak pernah bicara,
saling sapa pun tidak, dan berjumpa hanya sesekali saja—itu pun jika sedang ada
kelas tambahan— jadi aku sudah sangat mafhum bahwa kau akan melontarkan
kata-kata seperti itu.
Kami berdua pun terdiam dalam waktu yang agak lama, saling pandang.
Hingga akhirnya kami disadarkan oleh suara seorang perempuan yang berjalan
menghampiri. “Cil, ayo kita pulang, kosan dikit lagi dikunci.” Katanya. Kami
berdua pun bangkit dan berdiri, tanpa kata lalu berpisah.
***
Aku tak tahu mengapa aku bisa dengan sangat ceroboh untuk mengungkapkan
perasaan cintaku padanya—tanpa ada proses pendekatan, pengenalan, atau apalah
itu namanya. Mungkin karena aku sudah tak mampu untuk membendung perasaan yang
semakin kuat ini—bagaikan sebuah ombak besar di tengah samudra lepas yang tidak
ada satupun makhluk yang dapat menghentikannya—
Malam itu adalah malam yang paling indah dalam hidupku karna ada
satu hal yang tak akan pernah aku lupa darinya: senyumnya—sebuah senyuman yang
sangat manis yang diberikan padaku untuk pertama kalinya.
Jawabannya, ah, rasanya itu tak lagi penting! Bagiku, proses
pengenalan akan datang dengan sendirinya tanpa dibuat-buat atau direkayasa. Ketika
cinta telah datang, ia tidak akan perduli dengan siapa dirimu, bagaimana
kehidupanmu, seperti apakah dirimu, cinta akan tetap indah dengan segala
misteri di dalamnya.
Pengenalan hanya dibutuhkan untuk mereka yang masih menginginkan
sebuah eksistensi; karna aku tidak lagi membutuhkan eksistensi dalam mencinta,
maka aku tidak lagi melalui jalan pengenalan. Mencintaimu adalah sebuah esensi
kehidupan yang tidak dapat ku abaikan.
***
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, dan sampai pada saat ini
aku tak pernah lagi berbicara dengannya, bertemu pun tidak! Malam itu merupakan
pertama dan terakhir kalinya aku dan dia bicara, berdua, tanpa ada seorang pun
yang tahu, dan itu merupakan puncak dari luapan perasaan yang ku miliki
untuknya. Setelah itu, dia bagaikan ditelan bumi, menghilang dalam kesunyian.
Cinta, mungkin itu kata yang tepat untuk dijabarkan dari perasaan
yang menyelimuti hatiku. Aku telah menemukan cinta sejati dalam dirinya. Dan dia
adalah seorang yang telah membuatku tersadar bahwa dalam hidup ini hanya ada
satu cinta sejati yang tidak akan pernah bercampur dengan embel-embel—ingin
memiliki, menguasai, dan sebagainya. Dalam dirinya aku semakin mencintai-Nya,
dan dalam dirinya pula aku merindu-Nya.
terharuuu....
BalasHapusterharuuu....
BalasHapus