CINTA
Cinta,
adalah sebuah kata yang tak akan pernah habis untuk dibicarakan, didiskusikan,
diperdebatkan, maupun dilukiskan. Cinta merupakan rahmat dari Tuhan kepada
makhluknya, terutama manusia, dalam setiap diri manusia sudah tentu memiliki
rasa yang disebut dengan cinta. Ketika manusia pertama diciptakan –adam— Tuhan,
cinta telah menjadi suatu ramuan khusus yang diberikan kepada Adam, melalui
cinta-Nya, segala pengetahuan diberikan kepada adam, dan melalui cinta-Nya pula dijadikan Hawa sebagai pasangannya.
Dalam
sebuah percintaan dibutuhkan sebuah kesetian; yaitu tidak berpalingnya hati
dari yang dicinta, semua fikiran tertuju kepada yang dicintainya, selain itu
juga ada kecemburuan yang berarti bahwa ketika ada yang selain dirinya
mencintai yang ia cinta maka perasaan gundah, resah, akan menyelimuti dirinya.
Cinta
merupakan muamalah hati yang dirasakan oleh seseorang karena cendrung dan
tertarik kepada yang dicintainya itu. Cinta dapat memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap kehidupan seseorang baik itu bersifat positif ataupun
negatif. Cinta pada sesuatu menjadikan seseorang selalu mengikuti dan ingat
padanya, hatinya menjadi tak terpisahkan dan selalu bergantung mengingatnya.
Kata
cinta, selain mengandung unsur perasaan aktif, juga menyatakan tindakan yang
aktif. Pengertiannya sama dengan kasih sayang, sehingga kalau seseorang
mencintai orang lain, artinya orang tersebut berperasaan suka terhadap orang
lain tersebut. Cinta memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan
keluarga, pemeliharaan anak, hubungan dalam masyarakat, dan hubungan manusiawi
yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia
dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti
perintah-Nya, dan berpegang teguh pada syariatnya.[1]
Dalam
bahasa Indonesia kata cinta dapat berarti; suka sekali, sayang benar, kasih
sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau susah (khawatir).
Sedangkan secara psikologis, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut
kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila
muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai
dengan emosi dimana objek itu terletak atau berada.[2]
Dalam
kehidupan manusia, cinta menampakan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari
seseorang yang mencintai dirinya, istrinya, anaknya, hartanya, sahabatnya,
serta Tuhannya. Bentuk-bentuk cinta ini melekat pada diri manusia dan frekuensi
serta potensinya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhinya.
Apabila cinta telah tumbuh dalam diri seseorang, berarti orang itu mengandung
hikmat yang menuntun dirinya kepada kebenaran, kebajikan dan pengorbanan.[3]
Cinta
sebagai satu-satunya dasar hidup manusia sejak lama dan berabad-abad telah
menjadi fokus perhatian manusia. dalam berbagai aspek kehidupan seperti
nyanyian dan seterusnya, cinta selalu dijadikan segala-galanya, meskipun dalam
praktek sering kali perbuatannya jauh dan bertolak belakang dengan
simbol-simbol cinta itu sendiri.
Dalam al-Quran, cinta
dibagi menjadi berbagai bentuk, diantaranya:
1.
Cinta kepada diri
sendiri, al-Quran telah mengungkapkan cinta alamiah manusia terhadap dirinya
sendiri, kecendrungan untuk menuntut segala sesuatu yang bermanfaat dan berguna
bagi dirinya sendiri dan menghindari dari segala sesuatu yang membahayakan
dirinya sendiri.
“Manusia tidak
jemu-jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka, mereka berputus
asa dan hilang harapannya” (Q : 41 : 49). Manusia mencintai dirinya agar
terus-menerus dikaruniai kebaikan, tetapi apabila ditimpa bencana maka ia
menjadi putus harapan.
2.
Cinta kepada sesama
manusia, Allah memerintahkan kepada manusia untuk saling mencintai diantara
sesamanya.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat” (Q :49 : 10). Selanjutnya di dalam al-Quran juga
terdapat pujian bagi kaum Anshar karena cintanya kepada kaum Muhajirin.
“Orang-orang
yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedaatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); mereka mengutamakan orang
muhajirin atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung (Q :
59 : 9). Ciri-ciri cinta diantara sesama
manusia menurut Islam adalah mereka yang mencinta lebih mencintai (mengutamakan) orang lain dibanding dengan
dirinya sendiri.
3.
Cinta seksual,
cinta erat kaitannya dengan seksual. Hal ini dilukiskan dalam al-Quran sebagai
berikut:
“Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi yang berfikir” (Q : 30 : 21).
Dan didalam
ayat lain Allah menjelaskan;
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
wanita-wanita” (Q : 3 : 14). Cinta seksual merupakan bagian dari kebutuhan
manusia yang dapat melestarikan kasih sayang , keserasian,, dan kerja sama
antara suami dan istri.
4.
Cinta kepada Allah,
ini merupakan puncak cinta yang paling tinggi, dan didambakan oleh setiap
manusia dalam kehidupannya. Cinta ini suci, tanpa ada embel-embelnya, tulus
dari dasar hati yang paling dalam. Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah
akan menjadikannya tunduk, patuh, rihda atas setiap kehendak-Nya. Melalui cinta
kepada Allah akan membuat seorang manusia tenang, sabar, dan menjadikan semua
yang ada di alam ini sebagai menifestasi Allah sehingga membuat ia semakin
mencinta karna tak ada sesuatu di dunia ini selain Allah. Allah berfirman;
“Katakanlah,
jika kamu mencintai Allah , ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q : 3 : 31).
5.
Cinta kepada Rasul,
merupakan tingkatan cinta yang kedua setelah cinta kepada Allah. Hal ini
disebabkan karena Rasul (Muhammad) merupakan suri tauladan yang sangat ideal
bagi umat manusia semua, baik dalam tingkah laku, tutur kata, moral, perbuatan
dan lain-lainnya.
6.
Cinta kepada kedua
orang tua, merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap manusia,
orang tua merupakan pembuka jalan bagi anak, ia mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam kehidupan seorang anak kedepannya. Orang tua juga merupakkan sebuah
kunci bagi seorang anak untuk mendapatkan ridha dari Allah, karena ridha Allah
tergantung kepada ridha kedua orang tua.
Mengenai cinta kepada kedua orang tua telah difirmankan oleh Allah yang
berbunyi;
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu
berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
jangan sekali-kali kamu mengatakan ‘ah’, dan jangan pula kamu membentak mereka,
dan ucapkanlah perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu dihadapan mereka
berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: wahai Tuhanku, kasihanilah
mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.
(Q : 17 : 23-24).[4]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cinta
dalam pandangan Islam itu bersifat dinamis, aktif, yang berakar dalam
kesanggupan untuk memberikan cinta dan menghendaki perkembangan dan kebahagiaan.
Selain itu konsep cinta dalam islam bersifat menyeluruh dan eksistensial.
Dalam
pembahasan tasawuf, cinta itu disebut sebagai mahabbah. Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu,, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam.[5]
Konsep
cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.
Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang
kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam al-Quran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta.
Alfarabi membagi
cinta itu kedalam tiga tingkatan, yaitu;
1. Cinta Alami, yaitu
cintanya orang-orang awam. Tujuannya adalah penyatuan didalam ruh jasmani. Ia
berakhir didalam tindakan penyatuan fisik, dimana hasrat cinta menyebar melalui
seluruh tubuh. Ia mencintai sesuatu karena sifat khsusnya, yakni ingin bersama,
ingin berdekatan, ingin ini, ingin itu. Karakteristik cinta alamiah adalah
bahwa pecinta hanya mencintai yang dicintainya demi kesenangan dan mencari
kebahagiaan [dalam diri kekasih]. Jadi pecinta mencintai hanya demi dirinya
sendiri, bukan untuk sang kekasih.
2. Cinta Spiritual,
adalah cinta yang menyatukan untuk para pencinta, karena dia mencintai kekasih
demi sang kekasih itu sendiri. Cinta spiritual adalah ketika sang pecinta
dikarakteristikan dengan akal dan pengetahuan. Melalui akal ini dia menjadi
bijaksana dan melalui kebijaksanaanya dia menjadi seorang yang alim. Ketika dia
mencintai, dia tahu apa itu cinta, dia juga tahu apa itu makan dari pecinta dan
realitas dari yang dicintainya; dia mengetahui apa yang diinginkannya dari sang
kekasih dan apa yang diinginkan kekasihnya. Cinta ini bertujuan untuk menjadi
seperti Kekasih. Memenuhi perintah Kekasih, dan mengetahui keputusan-Nya. Ini
mengimplikasikan sebuah pengetahuan tentang Kekasih, apa sifat-sifat-Nya yang
tepat atau tidak layak, dan tentang apa yang diinginkan dan apa yang tidak
diinginkan oleh Sang Kekasih.
3. Cinta Ilahi,
terkandung didalam Diri-Nya yang mencintai kita demi diri kita dan demi
Diri-Nya sendiri. Dia menciptakan kita hanya untuk Diri-Nya sendiri, agar kita
mengenalnya. Sedangkan cinta-Nya kepada kita demi diri kita, yakni karena kita
bisa mengenal-Nya dari amal yang membawa kita kepada kebahagiaan sejati kita
dan menjauhkan kita dari segala hal yang tidak konsisten dengan tujuan kita
atau tidak selaras disposisi alamiah kita. Dia menciptakan mahluk agar ia dapat
mengagungkan-Nya.[6]
Akan
tetapi dalam perkembangan yang terjadi saat ini, cinta hanya dipandang sebagai
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan seksual semata. Ia telah menjadi suatu
barang murahan yang dijejalkan dipinggiran jalan. Cinta telah keluar dari makna
sejati-Nya, ia bermetaformosa menjadi sebuah nafsu liar yang siap menerkam
siapa saja tanpa pandang bulu. Atas nama cinta perzinaan merajalela, atas nama
cinta seorang merelakan diri meniggalkan agamanya, dan atas nama cinta pula
seorang anak berani menentang orang tuanya.
Fenomena
seperti ini sungguh sangat menyedihkan sekali, terutama yang terjadi di belahan
bumi nusantara, yang masyarakatnya merupakan salah satu pemeluk Agama Islam
terbesar di dunia. Pengaruh globalisasi membuat generasi-genarasi muda, bahkan
anak-anak menjadi komunitas yang kehilangan arah tujuan, gaya hidup yang tak
lagi di filter menjadikan generasi
muda mudah terpengaruh bahkan menjadikan budaya barat sebagai influance untuk dianggap sebagai orang
yang tidak ketinggalan zaman.
Salah
satu yang paling berperan penting dalam menghalau laju pertumbuhan virus-virus
cinta palsu ini adalah dengan pendidikan, agar tidak ada lagi kasus tentang
perzinahan yang dilakukan oleh para peserta didik, pencabulan seorang guru
kepada peserta didiknya, pencabulan yang dilakukan seorang ustadz kepada
jamaahnya, dan sebagainya. Kejadian semacam ini menunjukan bahwa sesungguhnya
kita sedang dilanda krisis moral, dan pendangkalan pemahaman cinta. Jika
fenomena seperti ini terus dibiarkan tanpa ada suatu tindakan preventif dari
sebuah pendidikan, maka tak diragukan lagi generasi muda akan hancur dalam
bayang-bayang nafsu kebinatangannya.
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada term al–Tarbiyah, penggunaan
kata al–Tarbiyah berasal dari kata Rabb. Walaupun kata ini
memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh,
berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestariannya atau
eksistensinya.[7]
Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si peserta didik menuju kepribadian yang lebih
baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal.[8]
Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan
dengan misi kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu menyempurnakan akhlaq yang
mulia.
Komentar
Posting Komentar