RABIAH AL- ADAWIYAH,
1. Latar
Belakang Keluarga
Ismail, ayah dari Rabiah adalah seorang yang
menghabiskan masa siangnya dengan bekerja dan malam harinya dihabiskan untuk
beribadah.Ia mempunyai seorang istri dan tiga orang anak perempuan. Hidupnya
sangat sederhana. Suatu waktu ismail berdoa kepada Allah agar ia dikarunia
seorang anak laki-laki agar dapat membantu kehidupan keluarganya karena kondisi
kelurga yang hidup sangat sederhana. Saat itu istrinya sedang mengandung anak
yang ke-empat
Setiap hari Ismail bekerja sangat keras untuk
menghidupi keluarganya.Ia menanggung empat jiwa manusia ditambah satu jiwa lagi
yang sedang dalam kandungan istrinya. Beban penderitaan Ismail pun terasa
semakin berat, akan tetapi ia tetap bersabar dan bertawakal serta ikhtiar untuk
memenuhi semua kebutuhan keluarganya meskipun dalam hidup yang sangat
sederhana.
2. Kelahiran
dan Masa Kanak-kanak Rabiah al-Adawiyah
Pada suatu malam
tibalah saat istrinya untuk melahirkan anaknya yang ke-empat.[1]Diceritakan
oleh Fariduddin Altar bahwa pada masa kelahiran Rabiah tidak ada satupun barang
berharga ada didalam rumah Ismail, bahkan setetes minyak untuk mengoles pusar
anaknya yang baru lahir pun tak ada.Akhirnya istrinya meminta kepada Ismail
agar meminta minyak kerumah tetangga untuk menerangi malam yang gelap itu.Akan
tetapi Ismail telah bersumpah untuk tidak meminta kepada siapapun selain kepada
Allah. Kemudian Ismail berangkat menuju rumah tetangganya agar istrinya senang
tapi sesampai dirumah tetangganya Ismail hanya menyentuh pintunya saja kemudian
ia pulang kerumah dan bercerita kepada istrinya bahwa tetangganya sudah tidur.
Tengah malam setelah
Rabiah dilahirkan, ayahnya bermimpi didatangi oleh Rosulalloh yang berkata
padanya, “jangan engkau merasa sedih,
karena perempuan yang baru dilahirkan tadi kelak akan menjadi seorang perempuan
yang utama, yang nantinya tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafaatnya”.Dalam
mimpi tersebut Nabi juga member perintah agar besok menemui Isa Zaidan, seorang
amir untuk menyampaikan sepucuk surat berisi pesan Rosulalloh seperti yag
diperintahkan dalam mimpinya. Isi surat tersebut “Hai Amir, engkau biasanya membaca sholawat seratus kali setiap malam
dan empat ratus kali setiap malam jumat. Tetapi dalam jumat terakhir ini engkau
lupa membacanya.Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada
yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas kelalaian mu.”[2]
Kemudian ayah Rabiah
terbangun dan menangis, ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan langsung
menulis surat itu. Ketika Amir telah mebaca surat tersebut, ia berkata:
“berikan dua ribu dinar kepada orang tersebut sebagai tanda terima kasihku ,
sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepadanya dan
katakan kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu
dengannya. Tetapi aku merasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus
datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya
dengan jenggotku.”[3]
Rabiah lahir pada tahun
99H/717M dengan nama lengkap Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah
al-Qaisiyah disuatu perkampungan dekat kota Basrah, Irak. Wafat dikota itu pada
tahun 185H/801M.[4]
Versi lain menyebtkan
bahwa Rabiah lahir pada tahun 95H di Basrah. Saat itu Basrah memiliki banyak
ulama, para ahli fikih dan ahli ilmu kalam. Konon bayi tersebut dinamakan
Rabiah karena sebelumnya sang ibu telah melahirkan tiga orang puteri. Maka
ayahnya menyematkan nama Rabiah (ke-empat) kepada bayi mungil yang baru lahir
itu.[5]
Ditengah-tengah kota
Basrah yang penuh dengan kekayaan, Rabiah tumbuh disebuah rumah yang terpencil
dalam keluarga yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Walaupun keadaannya
secara lahiriah serba kekurangan akan tetapi Rabiah kaya akan iman dan takwa.
Rabiah telah banyak mengambil pelajaran agama, qanaah, dan wara’ dari sang
ayah. Rohaninya pun mulai berkembang, sehingga ia sangat gemar membaca
al-Quran. Ia telah membaca dan menghafalnya dengan khusuk serta memahami
maknanya dengan yakin dan iman yang mendalam.[6]
Diceritakan bahwa
Rabiah telah khatam al-Qur’an pada usia 10 tahun. Kecepatan Rabiah dalam
menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Rabiah
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang
soleh yang penuh zuhud.Ayahnya menghendaki agar anaknya terpelihara dari
pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang bagi
pertumbuhan jiwanya, dan dapat mencapai kesempurnaan batiniyah. Maka Rabiah
sering dibawa ayahnya kesebuah musolah dipinggir kota Basrah. Ditempat inilah
Rabiah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khaliq.[7]
Sejak kecil, Rabiah
sudah terbiasa menggantungkan semua harapan kepada dirinya sendiri.Ia sangat
memahami kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga ia tidak pernah merasa menuntut
banyak terhadap orang tuanya. Ia selalu menerima apapun yang diberikan padanya.
Pernah suatu
hari, ketika seluruh angggota keluarga telah duduk disekitar meja makan,
kecuali Rabiah. Diceritakan oleh Muhammad Atiyah Khamis sebagai berikut:
Ia masih
saja berdiri memandang ayahnya, seolah minta penjelasan dari ayahnya mengenai
makanan yang terhidang. Karena ayahnya masih berdiam diri, Rabiah berkata;
“Ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan
makanan yang tidak halal.” Dengan keheranan ayahnya menatap muka putrinya yang
masih kecil itu, yang telah memperlihatkan iman yang kuat. Ayahnya menjawab:
“Rabiah, bagaimana pendapatmu jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali
barang yang haram?” Rabiah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia
ini, lebih baik dari pada kita menahannya kelak diakhirat dalam api neraka.”[8]
Saat masih
kecil Rabiah adalah gadis yang saleh. Apalagi setelah kedua orang tuanya
meninggal. Ia menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari
kedua orang tuanya. Dalam usia yang masih muda Rabiah dan kakak-kakanya harus
mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup.
3. Masa Remaja Hingga
Dewasa Rabiah
Menjelang dewasa Rabiah
telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya,akan tetapi hal ini tidak
menjadikannya asing dengan kemiskinan dan penderitaan, ia tidak merasa canggung
bekerja dari pagi hingga sore untuk menyambung hidupnya.[9]
Kini Rabiah hidup
bersama dengan tiga saudara perempuannya.Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan
menyembrangi orang disungai Dijlah dengan sampannya. Hal ini ia lakukan secara
terus menerus hingga pada akhirnya ia dikenal dengan nama Rabiah al-Adawiyah.[10]
Menurut
cerita, Rabiah adalah anak yang paling siap mental dan fisiknya dibanding
dengan ketiga sauda-saudaranya yang lain untuk hidup mandiri. Akan tetapi ia
sering menangis karena teringat kedua orang tuanya. Namun tak jarang juga ia
menangis tanpa sebab yang pasti. Pernah pada suatu sore setelah pulang dari
sungai Rabiah menangis tersedu, kemudian kakaknya, Abdah, menegurnya:
“Apa yang sedang engkau sedihkan Rabiah?”, “tak tahulah
aku, namun aku merasa sedih sekali.” Jawabnya. Dan Rabiah terus menangis.
Disela tangisannya ia berkata, “aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali.
Tak tahulah aku apa sebabnya. Seolah-olah ada suatu jeritan yang sangat dalam
dari lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat didalam
pendengaranku, yang tak dapat aku hadapi, kecuali dengan mengucurkan air
mataku.”[11]
Setelah
peristiwa tersebut, Rabiah selalu mimpi pada malam hari, berulang-ulang dengan mimpi
yang sama. Dalam mimpi itu Rabiah melihat cahaya yang sangat terang, yang
akhirnya menyatu dalam jiwa dan tubuhnya. Selama beberapa malam mimpi itu hadir
dalam tidurnya, maka pada suatu siang, saat Rabiah berada sendirian diatas
perahunya, nyatalah mimpi itu. Rabiah menatap cakrawala, tiba-tiba ia mendengar
suara yang sangat merdu:
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu dikegelapan
malam terdengar bacaan Quran. Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya.
Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran. Pipinya
sujud menyentuh tanah bergelimang debu, sedang hatinya penuh cinta ilahi. Ia
berkata, Tuhanku, Tuhanku. Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku.[12]
Kemudian
Rabiah pun langsung beranjak pulang dan ingin segera tidur, akan tetapi setelah
sampai dirumah ada kejadian yang mengejutkannya lagi, tempat tidurnya
diselimuti oleh cahaya yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya,
dan memanggil Rabiah: ‘Hai Rabiah, belum datangkah saatnya engkau kembali
kepada Tuhan-Mu? Ia telah memilihmu, menghadaplah kepada-Nya.[13]
Peristiwa-peristiwa itu menghantarkan Rabiah kepada kehidupan yang penuh dengan
ibadah kepada Allah.
Selama hidup Rabiah
tidak pernah belajar dibawah bimbingan Seykh atau pembimbing spiritual manapun,
namun Rabiah mencari sendiri berdasarkan pengalaman langsung kepada Tuhan.[14]
Maha Suci Allah yang
telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang hambanya yang bernama Ismail.
Seorang yang miskin harta tapi kaya akan rasa cinta dan syukur kepada Tuhannya.
Ia tidak bisa memberikan anak perempuannya pendidikan yang layak karena
keterbatasan ekonomi. Tapi hal ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu
yang ia miliki ia amalkan bersama anaknya. Ia tanamkan segala hal-hal baik
dalam diri Rabiah sehingga Rabiah memiliki hati yang suci dan bersih.
Seiring berjalannya
waktu, Basrah, Irak yang tadinya merupakan pusat kota dan sangat maju akhirnya
mengalami kemunduran dikarenakan banyak perbedaan pendapat dikalangan
aliran-aliran yang berkembang. Kerusuhan dan perpecahan terjadi antara kaum syiah
dan khawarij. Kemudian bencana alam pun mulai melanda kota, kemarau panjang
membuat kering kota Basrah. Kehidupan masyarakat pun menjadi sangat sulit.Kaum
miskin menjadi semakin menderita akibat kejadian tersebut.
Menjadi Budak
Kehidupan Rabiah dan
keluarganya pun semakin menderita, ia tinggal bersama ketiga saudaranya. Suatu
ketika Rabiah dan keluarganya pergi meninggalkan rumahnya, mereka berkelana dan
pergi keberbagai daerah untuk menjalani hidup.Dalam pengembraan tersebut
dikisahkan Rabaiah terpisah dari saudara-saudaranya, dalam keadaan seperti itu
Rabiah jatuh ketangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya seharga enam
ribu dirham.[15]
Setelah dijual oleh
perampok seharga enam ribu dirham, Rabiah menjalani hari-harinya sebagai budak
pada suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik yang masih ada
hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum
yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia
dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.[16]
Rabiah dibeli oleh
orang yang sangat kejam dan bengis, tak pandang bulu, walaupun Rabiah seorang
wanita ia diperlakukan dengan sangat kejam pula oleh tuannya. Namun Rabiah menjalani hidupnya dengan cinta,
ia tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi sampai berputus asa terhadap
kehidupannya. Siang hari ia bekerja membanting tulang mengerjakan semua pekerjaan
yang dibebankan oleh majikannya kepadanya, malam harinya ia habiskan dengan
beribadah kepada Allah.
Pada suatu
hari ketika ia berjalan-jalan, seorang yang tak dikenal datang menghampirinya.
Ia Rabiah mencoba untuk melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga
tangannya terkilir. Rabiah menangis sambil menundukan mukanya ketanah, lalu ia
bermunajat kepada Allah: “ya Allah, aku adalah orang asing di negeri ini, yang
tidak memiliki ayah serta bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang
tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuat aku bersedih hati. Satu-satunya
yang kuharapkan adalah dapt memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah engkau
berkenan atau tidak.”
Kemudian
terdengarlah suara yang berbunyi: “Rabiah,
janganlah engkau berduka, sebab esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga
para malaikat iri kepadamu.”[17]
Ujian-ujian yang
dialaminya membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Pada suatu malam tuannya
terbangun dan mendengar suara rintihan, dari celah-celah kamar ia mengintip apa
yang sedang dilakukan oleh Rabiah. Ia tertegun melihat Rabiah sedang bersujud
dan diatas kepala tergantung sebuah lentera tanpa rantai yang cahayanya
menyinari seluruh rumah. seraya Rabiah pun berdoa, “ Ya Tuhanku, engkau tau
bahwa hatiku selalu mendamba-Mu dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya
mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan
berhenti menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun engkau telah membuatku tunduk
kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah
kepada-Mu.
Melihat kejadian
seperti itu tuannya pun malu kepada Rabiah, akhirnya Rabiah dibebaskan oleh
tuannya dan ia pun ditawari untuk tinggal bersama tuannya. Akan tetapi Rabiah
menolak, ia memilih untuk meniggalkan rumah tuannya dan ia ingin hidup sendiri
dalam kedekatan dengan Tuhannya. Dalam kebebasannya, ia selalu giat beribadah,
bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan materi yang diberikan kepadanya, bahkan dalam doanya ia tidak mau
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.[18]
Kemudian
Rabiah pergi mengembara di padang pasir, dan ia menemukan tempat. Di tempat
itulah ia menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Suatu ketika Rabiah
memiliki niat untuk pergi melaksanakan ibadah haji, dan niat itu ia realisasikan,
bermodal seekor keledai dan sedikit barang-barang untuk kebutuhan hidupnya
akhirnya ia berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi sekali lagi ia
mengalami kemalangan, keledai yang menemani perjalananya mati. Kemudian ia
berjumpa dengan sekelompok orang yang menawarkan bantuan untuk membawakan
barang-barang miliknya, tetapi tawaran itu di tolaknya sambil berkata bahwa ia
tidak akan pernah bergantung kepada selain Allah. Ia hanya percaya bantuan
Allah dan tidak pada ciptaan-Nya.
Maka
berlalulah sekelompok orang itu meninggalkan rabiah seorang diri ditengah gurun
pasir yang sangat luas. Di gurun tersebut Rabiah menundukan kepalanya sambil
berdoa: “Ya Allah, apa lagi yang akan Kau lakukan dengan seorang perempuan
asing dan lemah ini? Engkaulah yang meanggilku ke rumah-Mu, tetapi ditengah
perjalanan ini Engkau malah mengambil keladaiku dan membiarkan aku seorang diri
ditengah gurun pasir ini.”
Setelah
memanjatkan doa, maka keledai yang tadinya sudah mati seketika langsung bangkit
kembali. Dengan tangkas Rabiah langsung menaikan kembali barang-barang yang
semula dibawa oleh keledainya itu dan ia pun langsung meneruskan kembali
perjalanannya itu.[19]
Dalam perjalanan
selanjutnya, Rabiah memilih untuk hidup zuhud. Pada suatu hari setelah Rabiah
menjalani puasa selama tujuh hari, ia tidak mempunyai makanan sedikitpun untuk
dimakan, dan selama satu malam itu ia tidak tidur sama sekali dikarenakan
waktunya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah. Ketika ia dilanda kelaparan
yang sangat, datanglah seseorang kerumahnya dan memberi semangkuk makanan,
lantas makanan tersebut diterimanya. Kemudian ia menaruh makanan tersebut untuk
mengambil lampu minyak sebagai penerang, ketika ia kembali, didapatinya seekor
kucing telah menggulingkan makanannya. Ia lalu berkata “aku akan mengambil
minum dan berbuka dengan air saja.” Ketika ia membawa kendi tiba-tiba lampu
minyaknya padam, ia bermaksud untuk minum dikegelapan malam lantas ketika ia
ingin meminum air dikendi itu tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah. Rabiah
pun sedih sekali dan berteriak-teriak seakan rumahnya terbakar api kemudian ia
berucap dalam keadaan yang sangat bingung, “Ya Allah, apa maksud Mu
memperlakukan aku seperti ini, akankah engkau hancurkan diri yang rapuh ini?”
tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengatakan:
“Jika
engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi,
tetapi Aku meyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tidak mungkin berada dalam
kalbu yang memiliki dua dunia. Wahai Rabiah, Aku mepunyai kehendak dan begitu
juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu dalam satu
kalbu.”
Rabiah lalu menjawab :
“Ketika
mendengar peringatan itu, kutinggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan
harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku shalat seakan-akan ini terakhir
kalinya dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi mahluk-mahluk lainnya,
aku takut mereka menarikku dari
diri-Nya, maka aku katakana, ‘ya Tuhan sibukkanlah hati ini dengan hanya
menyebut-Mu, jangan engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.
5. Pilhan Rabiah Untuk
Tidak Menikah
Rabiah telah dewasa dalam
pertapaan, dan tidak pernah sekalipun berfikir untuk berumah tangga. Bahkan ia
akhirnya memilih untuk hidup zuhud, menyendiri dan menghabiskan waktu hanya
untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah menikah, karna tidak ingin
perjalananya menuju Allah terhambat oleh suatu pernikahan.
Menurutnya
menikah dapat menghambat ibadahnya kepada Allah. Ia tidak ingin ada suatu
apapun yang dapat menghalangi dirinya untuk beribadah kepada Allah. Ia pernah memanjatkan doa kepada Allah yang berbunyi: “Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkan ku untuk
menyembah-Mu. Dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku
dengan-Mu.[20]
Pernah suatu waktu seorang yang bernama
Abdul Wahid bin Zayd datang untuk melamarnya, ia dalah seorang yang terkenal
kezuhudan dan kesuciannya, dan ia merupakan pendiri salah satu dari jamaah
pemondokan dekat basrah pada tahun 793M. Akan tetapi Rabiah tidak menerima
lamarannya tersebut, justru ia malah menjauhkan diri darinya dan berkata,
“Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama denganmu.
Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”.[21]
Kisah lain
menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majlis para sufi mencoba mendesak
Rabiah agar memilih seorang diantara para sufi untuk dijadikan suami. Kemudian
Rabiah menjawab: Ya baiklah, siapa diantara kalian yang paling pintar, yang
memungkinkan aku untuk menjadikannya suami? Para sufi pun sepakat dengan
menjawab Hasan Basri-lah yang paling pintar diantara kami semua. Lalu Rabiah
berkata kepada Hasan untuk menjawab empat pertanyaannya yang apabila ia bisa
menjawab maka sudilah Rabiah menjadikannya sebagai suaminya. Lalu Hasan
berkata: “katakanlah, dan jika Allah mengizinkan aku akan menjawab semua
pertanyaanmu itu.
Pertanyaan
pertama yang diajukan Rabiah adalah: “Apakah yang akan dikatakan oleh hakim
dunia saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan
menjawab: “hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.
Lalu Rabiah
melanjutkan pertanyaan yang kedua, “Pada waktu aku dalam kubur nanti, disaat
malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan
menjawab, hanya Allah Yang Tahu.
Lalu Rabiah
melanjutkan pertanyaanya yang ketiga, “Pada saat manusia dikumpulkan di Padang
Mahsyar di Hari Perhitungan nanti semua akan menerima buku ditangan kanan dan
ditangan kiri. Bagaimanakah dengan aku? Akaknkah aku menerima dengan tangan
kanan atau dengan tangan kiri?” maka Hasan menjawab, hanya Allah-lah Yang
Mengetahui.
Dan tibalah
Rabiah menanyakan satu pertanyaannya yang terakhir, “Pada saat Hari Perhitungan
nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lainnya akan masuk
neraka. Dimanakah aku aku berada?” Hasan menjawab seperti jawaban yang
sudah-sudah, hanya Allah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi
itu.
Selanjutnya
Rabiah mengatakan kepada Hasan, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang
diriku, dan bagaimana aku harus bersuami dengan seorang yang kepadanya tidak
dapat kujadikan tempat bersandar.[22]
Kisah lain tentang
seorang laki-laki yang melamar Rabiah adalah seorang gubernur yang menulis
surat kepada rakyat Basrah agar mencarikannya seorang istri. Seluruh rakyat
setuju kepada Rabiah, dan ketika laki-laki itu mengajukan lamarannya melalui sepucuk
surat, jawaban Rabiah adalah :
“Penolakan
terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan nafsu terhadapnya akan membawa
kesengsaraan. Kendalikanlah nafsumu dan jangan biarkan orang lain mengendalikan
dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari kematianmu, sedang bagiku, Allah dapat
memberiku semua apa yang telah engkau tawarkan itu dan bahkan berlipat ganda.
Aku tidak suka dijauhkan dari Allah walaupun hanya sesaat.Karenanya, selamat
tinggal.”
Sungguh apa yang telah
dilakukan oleh Rabiah itu mempunyai nilai yang sangat tinggi, ia tidak ingin
ada yang menggangu hubungannya dengan dengan Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang
ada di hatinya, ia tidak rela ada ruang sedikitpun dalam hatinya untuk dibagi
selain kepada Tuhan. Itulah yang disebut dengan cinta, tak ada sedikitpun ruang
yang akan dibagi selain pada yang dicintainya. Hanya ada cinta, melebur menjadi
satu dan tak dapat terpisahkan.
6. Detik-detik Wafatnya
Rabiah
Rabiah sama seperti
manusia umumnya, menjalani hidup hingga usai lanjut. Pada suatu hari Rabiah
saat menderita dan sedih sekali, sahabatnya berkata padanya, “Wahai yang mulia
didunia ini, tak tampak penyakitmu dimataku, tatapi engkau sangat merasakan sakit
dan selalu manangis.” Lalu Rabiah menjawab: “sakitku adalah dari dalam dadaku,
dimana penyembuh dari seluruh dunia
tidak akan dapat menyembuhkannya, dan pembalut lukaku adalah menyatu
dengan Sahabatku, hanya itulah yang dapat meringankannya. Bukankah esok aku akan
dapat meraih tujuanku. Tetapi karena rasa sakit ini tidak mengganguku,
tampaknya aku menderita, tak ada yang dapat kuperbuat dari semua ini.”Yakni,
tanda-tanda penderitaan fisikku tidak sebesar penderitaan spritualku.
Menjelang akhir hidup
Rabiah, Muhammad bin Amr bercerita bahwa ia datang untuk melihat Rabiah, ia
adalah seorang wanita yang sudah tua berusia delapan puluh tahun, ia kelihatan
seolah-olah seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Dirumahnya
kulihat tempat gantungan baju dari kayu Persia, tingginya kira-kira dua hasta.Selain
itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat dan sebuah tikar dari bulu.
Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Sahwwal yang telah
menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabat dan pembantunya yang
paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “janganlah kematianku sampai
menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.”[23]
Saat-saat
terakhir ajalnya akan tiba, Rabiah menolak didampingi siapa pun, sekalipun
orang-orang yang ingin mendampinginya adalah orang-orang yang sangat soleh.
Rabiah berkata kepada mereka: “Bangun dan keluarlah! Lapangkan jalan utusan
Allah yang akan menjemputku.
Setelah
orang-orang disekitar Rabiah keluar dan menutup pintu, terdengarlah suara
Rabiah mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu dijawab suara: “Wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan mendapat keridhaan. Maka
masuklah kedalam hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.[24]
Dikisahkan bahwa kain
kafan untuk membungkus jenazahnya itu telah disiapakan olehnya dan digantung
disamping tempat ibadahnya. Detik-detik terakhir menjelang kematiannya ia
memanggil seorang pembantunya dan berkata kepadanya, “Wahai Abda, jangan
beritahu orang lain bahwa kematianku sudah dekat, apabila saatnya tiba,
tutuplah aku dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan menggunakan kafan ini.”
Maka ketika ia meninggal, ditutup tubuhnya yang telah rentan dengan kain kafan
dari wol yang biasa dia gunakan.
Setelah satu tahun
kematiannya , Abda mengisahkan bahwa ia telah berjumpa dengan Rabiah dalam
suatu mimpi. Rabiah datang dengan menggunakan jubah sutera berwarna hijau
dengan hiasan border benang emas dan kain selendang sutera brokat yang belum
pernah dilihat oleh Abda sebelumnya didunia ini. Lalu Abda betanya padanya, “
Wahai Rabiah, engkau kemanakan kain kafan dan selendang sutera yang engkau
kenakan saat kematianmu itu? Rabiah menjawab, semua itu telah diambil dariku
dan diganti dengan apa yang engkau lihat ini dan pakian yang aku kenakan
sebagai kain kafan telah dilipat, disegel dan dibawa oleh malaikat, sehingga
pakaianku akan lengkap udah saat hari kebangkitan nanti. Abda bertanya lagi,
apakah engkau melaksanakan harimu sebagaiman engkau masih didunia?Lalu dijawab,
apakah itu dapat dibandingkan dengan rahmat Allah kepada orang-orang suci-Nya.[25]
Rabiah wafat pada usia
kurang lebih 90 tahun, tepatnya pada tahun 185
H (801M) sedangkan
tempat wafat dan makamnya tidak diketahui secara pasti, ada yang menyebutkan ia
dikubur di Jerussalem di atas sebuah bukit, akan tetapi sumber yang lebih kuat
menyebutkan bahwa Rabia di Basrah, daerah Syam (Syiria).
Akhirnya Rabiah
telah mencapai tujuan yang selama ini dicari dan didambakannnya. Menyatu,
bertemu, dan memandangi keindahan Tuhan.
Mahabbah
Rabiah al-Adawiyah
Dalam pembahasan tasawuf, cinta itu disebut sebagai mahabbah.Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta
yang mendalam.
Al Mahabbah
dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual,
seperti cinta seorang yang kasmaran pada sesuatu yang sedang dicintainya, cinta
seorang tua kepada anaknya, cinta sahabat kepada sahabatnya, cinta suatu bangsa
terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjanya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat
pula berarti suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seorang untuk mencintai
tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak.Yaitu cinta
kepada Tuhan.[26]
Selain itu Mahabbah dapat pula berarti
kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh sesuatu kebutuhan yang
bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya orang yang kasmaran
terhadap sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada
sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan
sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan
melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam
semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam al-Quran
maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.
Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah
cinta, dan yang dimaksud cinta disini adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut
Harun Nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara
lain sebagai berikut :
1.Memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap kepada-Nya.
2.Menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihinya.
3.Mengosongkan
hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[27]
Dilihat
dari segi tingkatannya, mahabbah
sebagai dikemukakan oleh al Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, mahabbah
itu ada tiga macam tingkatan, yaitu:
1.Cinta
biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berzikir, suka menyebut nama Allah
dan memperoleh kesenangan dengan berdialog dengan Allah, senantia memuji-Nya.
2.Cinta
orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan
tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan
memperoleh kesenangan dari dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini membuat
orangnya sanggup menghilangkan kehendak dari sifat-sifatnya sendiri, sedang
hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta
orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini
timbul karena telah tahu atau mengenali betul pada Tuhan. Yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. [28]
Ketiga tingkat Mahabbah tesebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkat ini tampaknya cinta yang terakhirlah ingin dituju oleh mahabbah.
Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang tidak dapat dilukiskan dengan suatu kata apapun, akan tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[29]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya.Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah.Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.Rabiah merupakan pencetus konsep mahabbah. Bagi Rabiah, beribadah kepada Allah itu karena memang ia cinta dan Allah itu layak untuk dicintai.
Menurut Rabiah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktifitasnya, bukan lagi karena takut akan siksa neraka ataupun berharap akan kenikmatan surga. Hal ini terungkap sebagaimana syair-syair yang diucapkannya .karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Didalam jiwanya tidak ada lagi yang tersisa sebagai ruang kosong untuk diisi dengan rasa cinta maupun benci kepada selain Allah.[30]
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya.Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[31]
Ketiga tingkat Mahabbah tesebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkat ini tampaknya cinta yang terakhirlah ingin dituju oleh mahabbah.
Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang tidak dapat dilukiskan dengan suatu kata apapun, akan tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[29]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya.Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah.Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.Rabiah merupakan pencetus konsep mahabbah. Bagi Rabiah, beribadah kepada Allah itu karena memang ia cinta dan Allah itu layak untuk dicintai.
Menurut Rabiah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktifitasnya, bukan lagi karena takut akan siksa neraka ataupun berharap akan kenikmatan surga. Hal ini terungkap sebagaimana syair-syair yang diucapkannya .karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Didalam jiwanya tidak ada lagi yang tersisa sebagai ruang kosong untuk diisi dengan rasa cinta maupun benci kepada selain Allah.[30]
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya.Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[31]
Begitu
besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah
memenuhi seluruh kalbunya.Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai
selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun.tak ada ruang lagi di
kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan
dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[32]
Semenjak
Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau
dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik
di kalangan tasawuf.Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan
seperti sebelumnya.Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”. .
Pada
bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian
menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu
al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi
kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti
Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
Ajaran
cinta Ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana
untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini
diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka
yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun
diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas
pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
[1] Syed Ahmad Semait,
100 Tokoh Wanita Terbilang (Singapore : Pustaka Nasional Pte Ltd,
1993), hal. 476-477
[2] Asep Usman Ismail,
dkk.,Tasawuf (Jakarta : Pusat Studi
Wanita, 2005), hal. 132-133
[3] Margaret Smtih, “Rabiah al-Adawiyah : Perglatan Spritual
Perempuan”. Terj. Jamilah
Baraja (Surabaya: Risalah Gusti,
1997), hal. 8
hal. 119
[5] Makmun Gharib, Rabiah al-Adawiyah: Cinta Allah dan Kerindn
Spritual Manusia,
Jakarta :Penerbitzaman, 2012, Cet 1, hal,
36
[6] Semait, op.cit., hal. 477
[7] Ismail, op.cit., hal 133
[8]Muhammad
Atiyah Khamis, Rabiah al-Adawiyah, terj.
Aliudin Mahjuddin dari Rabiah El
Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 8
[9]Suryadilaga, M
al-Fatih.Miftahus Sufi.Yogykarta :
Teras, 2008. Hal. 113
[10]Semait, op. cit., hal. 478
[11]Khamis, op.cit., hal 10
Amroeni Drajat (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007) , hal. 277
Firdaus, 1994. Hal, 15
Derita
Mencapai Cinta Illahi.
Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), h. 122.
[17]A.J. Arberry, Warisan
Para Auliya, terj. Anas Mahyudin dari Moslem Saints and Mystic
[Episodes dari The Taadzkirat al-Auliya karangan Fariduddin al-Altar],
(Bandung: Pustaka,
1994), hal. 50
[18] Suryadilaga, op. cit., hal 114
[19]Smith., op.
Cit., hal. 10
[20]Abdul Mun’im
Qandil, Figur Wanita Sufi, terj.
M.Royhan Hasbullah dan M. Sofyan
Amrullah, (ed. Bhs. Indonesia)
Herry Muhammad, dari Rabiah al-Adawiyah,
Adzaru al-
Basrah al-Batul, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), hal. 64
[21] Smith, op.cit., hal 13
[22]Ibid., hal 14
[23] Khamis, op, cit., hal 80
[25] Shibt Ibnua al-Jauzi,
Tarikh Mir’at az-Zaman, MS. Brit. Museum, fol. 257 a
[26]Abudin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta : PT Grafindo Persada
2008, hal 208
[27] Harun Nasution, Falsafat
Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), cet. I,
hal 70.
[28]Ibid., hal 70-71
[29] Nata, op, cit., hal
210-211
Adawiyah, (Tesis S2, Kera Sama
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakara
dengan Program Pascasarjana
Universitas Indoesia, 1995), hal.72
[31]Al-Taftazani., Sufi
dari Zaman ke Zaman.hal 86
[32]Nasution ,op. cit., hal. 74.
Komentar
Posting Komentar