DI SANA, DI RUMAHKU

Akan kucari suatu tempat yang indah; diantara laut dan gunung. Sepi, sunyi, tanpa ada seorang pun yang tahu. Di sana, akan kubangun sebuah rumah, bukan sebagai istana; melainkan hanya sebuah gubuk sederhana beratap jerami, dindingnya pun terbuat dari anyaman bambu, dan dengan kayu-kayu setinggi 4 meter sebagai penyanggahnya. Lantainya pun beralas tanah tanpa keramik yang menempel di atasnya—karena aku lebih senang menginjak tanah secara langsung! Di dalamnya tidak akan aku letakan satupun barang-barang elektronik: televisi, radio, kulkas, komputer, internet, telepon, ac, dll, tidak akan pernah kau temui di sana. Ini semua bukan karena aku membenci ataupun tak mampu untuk membelinya, bukan! Ini tentang ketenangan. Karena menurutku, semua itu cuma akan membuat keresahan, dan tak akan ada ketenangan jika semua itu masih berada di sisiku.


Aku bukan seorang koruptor yang sedang melarikan diri karena takut dikejar oleh KPK. Aku bukan seorang narapidana yang sedang mencari tempat persembunyian karena melakukan tindak kriminal. Aku juga bukan seorang bandar narkoba yang sedang menjadi target operasi polisi. Adalah aku; seorang warga negara biasa yang merindukan ketenangan dan kedamaian. 

Aku memilih kehidupan seperti ini bukan karena takut bersaing dengan orang lain di pasar bebas. Bukan karena takut gagal bersosialisasi dengan masyarakat umum. Dan, juga bukan karena aku seorang penempuh jalan–sufi yang ingin mengasingkan diri dan keluar dari kehidupan duniawi yang penuh dengan tipu daya, bukan!

Lagi-lagi, ini tentang ketenangan. Bagiku, hanya alamlah yang mampu memberikan ketenangan dan kedamaian. Sehebat apapun sebuah teknologi tak akan mampu menyaingi keindahan dan ketenangannya. Alam, begitu indah dengan segala isinya.

    Tikus, kucing, anjing, serigala, merpati, elang, cicak, semut, lebah, jangkrik, dan semua binatang lainnya akan ku undang untuk tinggal bersamaku. Mereka bebas memilih tempat mana saja dalam rumahku. Kau tidak perlu khawatir, tenang saja! Tidak ada yang akan kubunuh; mereka semua aman bersamaku. Aku mengundang mereka bukan untuk memanfaatkannya atau mengambil keuntungan pribadi, bukan! Aku menghormati mereka, bagiku mereka semua adalah guruku. Guru yang hebat.

Jika kau tidak percaya, kau boleh datang langsung ke rumahku. Buktikanlah sendiri! Kau bebas memilih binatang apapun untuk dijadikan gurumu! Seekor lebah, semut, elang, dan binatang lainnya akan siap untuk mengajarimu. Kau tak perlu khawatir, mereka semua tidak akan menyakitimu apalagi sampai memangsamu. Aku jamin itu! mereka semua baik. 

Dan, di sana, tidak akan pernah kau temui satu pun jenis alat musik. Alasanku sangat sederhana: aku tidak ingin menggangu nyanyian para binatang yang tinggal bersamaku. Kau tahu? Suara mereka begitu indah! Tak pantas rasanya jika harus kuganti dengan musik-musikku. Aku khawatir mereka akan kecewa, lalu pergi dan menghilang.

                                     ***

Adalah harapanku untuk menjadikan suatu tempat sebagai oase teduh, menjadikannya sebagai ruang-ruang yang tertutup oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi ke langit. Bukan gedung-gedung mewah yang berdiriki kokoh, menjulang, mencakar langit.

Di tempatku itu, akan kutanam berbagai jenis pohon. Pohon pertama yang akan kutanam adalah ganja. Ya, ganja! Aku begitu senang melihatnya; daun yang indah serta bunga-bunganya yang cantik membuatku selalu ingin melihatnya. Aromanya khasnya telah membuatku lupa akan bau darah yang tumpah karena keserakahan para manusia.

Lalu, sesekali aku akan membakar pohon ganja. Ya... hanya pohon ganja! Bukan untuk bersenang-senang; melainkan agar semua orang yang ada di penjuru dunia ini bisa tersenyum. Ingat, hanya tersenyum! Bukan tertawa terbahak-bahak, apalagi sampai lupa diri. Mungkin dengan begitu para manusia akan menjadi lebih sopan dan santun; ramah serta selalu tersenyum, mungkin!

Dan, Pak Polisi, ah, dia tidak akan melarangku. Ganja yang kutanam dan kubakar adalah hasil percintaan ibu pertiwi; ia tidak memabukan. Kau tenang saja! Ia sama seperti pohon-pohon lainnya.  

Setelah itu aku akan menanam pohon kelapa, pinus, cemara, angsana, jati, dll.  Mereka semua akan kurawat dan kujaga dengan baik hingga tumbuh menjadi pohon besar yang rindang; yang mampu memberikan perlindungan bagi makhluk hidup yang bernaung di bawahnya.

                                           ***

     Begitu indahkah tempatmu? Aku jadi penasaran dengan tempatmu itu! di manakah letaknya? Boleh aku kesana? Ingin sekali rasanya aku tinggal bersamamu. Semua yang kau ceritakan membuatku tertarik, sepertinya aku telah jatuh hati dengan tempatmu itu. Sungguh, aku tidak bohong! Aku benar-benar jatuh hati dengan tempatmu!

“Ajaklah aku kesana! Kurasa kau cukup baik untuk mengajakku. Hanya aku sendiri, tak akan aku bicarakan tempatmu itu pada orang lain. Aku janji!” Ucap seorang kekasih padaku.

       “Hahaha”,  aku tertawa. Kau tenang saja sayang! Suatu saat nanti kau akan aku ajak kesana, bahkan kau juga akan tinggal bersamaku, tapi bukan saat ini. Sabarlah, aku yakin kau bisa menahan rasa inginmu itu. Nanti jika tiba saatnya, kau akan aku jemput, percayalah!” kataku padanya.

       Kapan? Aku sudah tidak sabar! Ingin sekali rasanya aku kesana. Ayolah, jangan biarkan aku penasaran seperti ini. ayo kita pergi sekarang, ayo... ayo... ayo…

Hahaha, kau jangan merengek seperti itu, aku benci melihatnya! Tenang saja, kau pasti akan aku ajak kesana. Kau tahu kan? aku tidak pernah berbohong padamu! Lebih baik sekarang kau persiapkan dirimu dahulu. Kehidupanku sangat berbahaya.

Kau harus belajar hidup tanpa semua fasilitas dan teknologi duniawi, dan kau juga harus belajar hidup bersama binatang dan alam. Aku yakin mereka semua sangat liar untukmu. Dan, aku khawatir jika kau aku ajak kesana sekarang kau akan terkejut, atau mungkin kau akan langsung memintaku untuk mengantarmu pulang.

    “Tidak sayang! Aku tidak seperti apa yang ada di fikiranmu itu. Aku lebih kuat, aku sanggup untuk mengikuti semua kehidupan liarmu itu. Coba kau perhatikan aku, lihat aku! Apa selama ini aku pernah menyusahkanmu? Merepotkanmu dengan segala keinginanku? Aku ini bukan seorang wanita manja yang tidak bisa hidup mandiri, selalu suka dengan kemewahan, selalu tertarik dengan gaya hidup konsumtif. Dan, aku juga bukan seorang wanita yang takut pada tantangan untuk berada didalam alam liar dengan semua binatang dan kehidupannya.” Katanya –sambil menunjukan wajah yang paling serius—

     Aku paham sayang, kau memang wanita tangguh, mandiri, dan cerdas pula. Tapi sekarang belum saatnya kau untuk ikut dan tinggal bersamaku. Kau masih harus menyelesaikan kuliahmu, juga kehidupanmu yang lainnya. Kau juga harus fikirkan keluargamu. Bagaimana reaksi mereka jika kau ikut dan tinggal bersamaku di antara binatang dan alam yang liar tanpa ada teknologi dan komunikasi. Aku yakin keluargamu khawatir dan tak akan  mengizinkan.” Kataku padanya. 

     “Kata siapa aku tidak bisa meyakinkan keluargaku? Percayalah! Kedua orang tuaku pasti akan mendukungku, asalkan aku bisa terus belajar menjalani hidup dan dapat hidup bahagia sesuai dengan harapanku. Aku jamin itu! Sekarang tinggal kau yang aku harapkan, apa aku boleh untuk ikut dan tinggal bersamamu, di sana, dengan semua bintang dan kehidupan liarnya itu?” Ucapnya.

“Tenang saja! Kau boleh ikut dan tinggal bersamaku di sana, tapi tidak sekarang. Aku janji, nanti kau akan aku jemput, tunggulah, aku akan datang! Sekarang biarkanlah aku sendiri, tenggelam dalam alam beserta isinya. 

                                  ***

“Kring...kring...kring...” alarm berbunyi.  Ternyata aku hanya bermimpi! Sekarang aku terlambat. Waktu telah menunjukan pukul 8 pagi dan aku masih terbaring di atas sebuah kasur kapuk yang sudah tak lagi empuk.  Ini adalah senin pertama di bulan januari, dan ini adalah hari terakhirku untuk mengurus kuliah. Aku kesiangan!

Udara pagi masih sama seperti kemarin, tidak sejuk; karna terlalu banyak membawa asap kendaraan dan polusi udara. Air tanah, ah, aku tak sempat merasakannya. Tapi kurasa tidak ada yang berbeda darinya, ia tetap keruh dan berbau.

Segera aku mengganti pakaian tanpa mandi terlebih dahulu. Sisa-sisa farfum yang kemarin kupakai masih terasa menempel di kaos hitam yang tergantung di dinding kamarku dan langsung kupakai. Celana jeans yang sudah hampir robek pun menjadi pilihan terakhir yang harus kupilih—karna celana yang lain masih dalam loundryan. 

Aku segera bangkit meninggalkan kamar dan keluar dengan memakai sepatu sket hitam yang biasa kupakai sehari-hari. Di pundakku sudah menggantung tas ransel berwarna merah dengan merk consina. Tas itu penuh dengan tumpukan kertas yang akan menjadi penyelamat hidupku. Aku pun berlari dengan sangat cepat, berharap keberuntungan masih memihakku.

Sampai di gerbang kampus, aku merasa ada yang aneh –kampus terlihat sangat sepi, tidak aktifitas mahasiswa—. Lalu aku menghampiri pak junaedi—dia satpam kampus sekaligus kawanku bermain poker. Aku pun langsung bertanya padanya, “hari ini kok sepi sekali, bang?” dia tertawa, lalu menjawab: “ya memang sepi, cuk. Hari ini kan tanggal merah! Kau memang tidak tahu?” Asu. “gerutuku dalam hati”. “Ah, saya lupa, bang!” jawabku. “Yasudah, bang. Saya cabut.” Kataku padanya.  

Akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong di sebuah lorong antara fakultas pendidikan dan kesehatan. Di sana aku hanya diam sambil mendengarkan sebuah lagu klasik dari handphone-ku. Tidak lama kemudian aku melihat seorang perempuan yang kukenal—yang sudah lama aku kagumi—. Namanya cinta, sekarang dia sedang menuju ke arahku. Aku pun segera berdiri dan bersiap untuk menyapanya. Dia melihatku, aku tersenyum padanya, lalu kusapa “hei”. Dia diam saja –sambil menundukan kepalanya, senyum dan sapaku tak dibalasnya, dan dia berlalu begitu saja.

“Ah, hari ini sangat sial! Aku lupa tanggal dan aku di acuhkan lagi olehnya.” Gerutuku dalam hati.



Komentar

Postingan Populer