MASIH TENTANG CINTA (II)


Dia, sendiri, berkawan sepi dan sunyi. Hari-harinya dipenuhi dengan kekosongan. Dia bukanlah seorang atheis, juga bukan seorang yang suka menyendiri (baca: sufi). Adalah dia, manusia biasa yang telah lama hidup tanpa cinta dari sang kekasih. Menurutnya, cinta adalah sebuah pembunuhan yang pasti—karena dalam cinta akan muncul rasa takut yang teramat, rindu yang menggebu, juga cemburu.

Seiring berjalannnya waktu, dalam perasaan kering tanpa cinta, tiba-tiba datang seseorang yang menabur benih-benih kasih sayang diatas hamparan tandus hatinya. Dia seperti ditarik ke masa silam, dipaksa mengingat semua kenangan, lalu dihempaskan. Dia berontak, berusaha keras untuk mengelak, berjuang untuk menahan, bahkan sampai melawannya. Dan lonceng berbunyi. Pertarungan pun dimulai. Segala cara dia lakukan, semua jurus dia keluarkan, semua mantra dia rapalkan, tetapi hasilnya nihil. Dia tetap tak sangggup mengalahkannya. Semakin kuat dia berusaha maka semakin cepat benih-benih itu tumbuh dihatinya.

Dia menyerah. Benih cinta itu terlalu cepat menjalar dan tumbuh subur dalam taman hatinya. Cinta telah membuatnya lemah tak berdaya. Segala ketaatan, kekuatan, kecerdasan, kesucian, dan keinginan telah tunduk padanya. Tak ada lagi sesuatu yang tersisa selainnya.

Alhasil, kekalahan membuatnya terjebak dalam samudera perasaan yang sulit dimengerti. Dia mulai terombang-ambing oleh berbagai macam perasaan. Kadang ia tertawa sangat keras, kadang ia menangis tersedu, kadang ia diam tanpa gerak dan kata, dan kadang dia berlari sampai tak sadarkan diri. “Cinta, oh, betapa hebatnya dirimu. Aku menjadi sangat bodoh dihadapmu”, teriaknya sambil berlalu.

Dia sekarang menjadi begitu mencintainya. Dalam hatinya tersimpan perasaan takut yang sangat dalam jika kekasihnya akan pergi meninggalkan dirinya. Rindunya tak pernah padam, dan cemburunya semakin menjadi. Semakin dalam dia mencinta maka semakin gelisah hatinya, hari-harinya dihabiskan hanya untuk menyebut dan merindu sang kekasih. Harapannya cuma satu; bersatu dengan sang kekasih.

***
Dia hampir saja menjadi gila. Cinta telah membutakannya sehingga dia kehilangan objektivitas dan akal sehatnya. Apapun yang dilakukan oleh pujaan hatinya selalu dibenarkan. Baik ataupun buruk tetap saja dia cintai. Mungkin dia ingin menunjukan padanya bahwa dia benar-benar tulus mencintai dan mungkin juga dia merasa bahwa cinta itu harus selalu sama, dalam setiap laku perbuatan.

Saat langit berubah menjadi hitam, dan sang rembulan mulai menampakan dirinya, dia pun bernyanyi, “Wahai cahaya kecilku, tetaplah disampingku, menerangi setiap langkahku tanpa pernah sedikitpun engkau ragu. Wahai cahaya kecilku, janganlah kau jemu berada disisiku, menemaniku dalam setiap hembusan nafas di hidupku. Wahai cahaya kecilku”.

Tanpa disadari, sudah hampir satu tahun dia mencinta. Perasaannya kini sudah tak lagi sama, kadar cintanya menurun, cintanya yang dulu menggebu-gebu surut dimakan waktu. Ia pun menjadi bingung, “apakah cinta itu abadi ataukah cinta itu hanya bersifat sementara?” tanyanya dalam hati.

Dia terus berfikir, apakah semua ini yang dinamakan dengan cinta. Dia pun teringat sebuah sajak yang berbunyi: “Seseorang yang mencinta tak sepenuhnya, mungkin benar-benar cinta tapi berkhianat juga”. Ah, sajak itu membuatnya semakin gelisah. Dia mencoba mengingat kembali awal mula percintaannya –pertarungannya dengan cinta, kekalahannya, dan juga ekstasenya.  Dia semakin bingung dibuatnya, sungguh cinta merupakan pembunahan yang niscaya.

Akhirnya dia memutuskan untuk diam –hanya memusatkan fikiran kepada Sang Pemberi Cinta— dalam waktu yang cukup lama. Dia tidak lagi bergaul dengan sesama. Hidupnya dihabiskan untuk merenungi apa yang telah terjadi. Kegundahan dalam mencinta, kebimbangan, dan juga kegelisahannya. Dalam hatinya hanya ada satu harapan, menemukan cinta yang sejati.

Dia selalu berharap bahwa kelak Dia akan benar-benar ditarik kedalam samudera cinta sejati, sungguh, tenggelam dalam cinta yang hakiki. Dia kembali DIAM.  

Komentar

Postingan Populer