SIKLUS

Sore itu—setelah selesai hujan dan dalam suasana yang begitu sendu— terlihat seorang anak di atas sebuah gedung tua tak berpenghuni sedang menatap langit sore yang kemerahan. Kadang dia merebahkan tubuhnya di atas sebuah lantai merah yang terbuat dari marmer, kadang dia hanya duduk-duduk saja, dan kadang dia berdiri sambil berteriak; lalu memejamkan matanya mencoba menyatukan diri dengan merahnya langit sore.

Langit sore itu dia sebut dengan senja. Dia sangat senang menatap lama-lama langit yang agak kemerahan itu. Katanya, langit sore seperti itu adalah saat yang tepat untuk mengutarakan semua kegelisahan hatinya, dan pada saat seperti itulah dia akan lebih mudah untuk berhubungan dengan Tuhan; karna pada sore seperti itu adalah waktunya Tuhan online. Dia yakin itu! Dia hafal jam-jam online Tuhan. Selain sore hari, Tuhan juga online pada malam hari sekitar jam 1 malam sampai jam 4 pagi, tapi dia jarang berhubungan dengan-Nya pada malam hari. Dia lebih senang berhubungan pada sore hari ketika langit menjadi agak kemerahan.

Ketika berhubungan dengan Tuhan, dia selalu menyalahkan diri sendiri dihadapan Tuhannya, tak pernah sekalipun dia menyalahkan Tuhan atas segala hal yang di alaminya. Meskipun begitu, dia tetap saja sering kesal, marah, dan dendam ketika berbicara kepada Tuhannya, tapi itu hanya sebatas ungkapan perasaan cinta yang ingin dia luapkan, dia tidak pernah benar-benar seperti itu pada-Nya.

***
Dia adalah seorang yang tak pernah mempunyai mimpi dalam hidup. Mimpi-mimpinya telah lama hilang sejak dia masih kecil. Hidupnya dibiarkan mengalir begitu saja. Banyak sekali orang yang menganggap bahwa dia adalah orang yang sangat pesimis karna tidak pernah mempunyai tujuan dalam hidup dan tidak mempunyai cita-cita yang ingin dicapai. Walau begitu, dia tetap tidak perduli. Dia tetap asik dengan langitnya yang berwarna merah.

Cinta, ah, dia tidak mengerti apa itu cinta. Baginya, cinta adalah makhluk yang paling misterius; dia tidak bisa ditebak atau direka-reka, juga tidak bisa dipelajari, dimengerti, dan dipungkiri. Atas nama cinta seorang manusia berani untuk mengakhiri hidup, atas nama cinta juga seorang manusia menjadi gila. 

Sering kali dia mencoba mendekati cinta, menaruh perhatian dan kasih sayang kepada seorang yang dia kasihi, tapi tak bertahan lama. Perasaan itu hilang dengan sendirinya. Dia bingung, kenapa cinta itu cepat sekali perginya. Apakah cinta memang seperti itu; mudah datang dan mudah pergi. “gumamnya dalam hati.”

Lalu dia mencoba mencari cinta lagi, kali ini kepada seorang yang benar-benar membuatnya jatuh hati. Tapi ada yang berbeda dalam pencariannya kali ini—dia sengaja tidak mendekatkan dirinya kepada orang itu, dia ingin tahu, apakah dia benar-benar cinta atau tidak—dia tidak pernah sekalipun berusaha untuk mendekatinya, apalagi berusaha untuk memiliki seorang yang di cintanya itu. Tiap hari kerjanya hanya menjaga hati, memandangi wajah seorang yang dikasihinya dari jauh, tanpa berharap apa-apa.

Bertahun-tahun dia lewati masa seperti itu; menjaga hati, tanpa ada usaha yang lebih untuk mendapatkan apa yang di cintainya. Banyak sekali orang yang menganggapnya bodoh  penakut, pecundang, dan banyak lagi cemohan yang diterimanya karna tidak berani untuk memperjuangkan dan mendapatkan apa yang di cintainya itu. Meskipun begitu dia tetap tak perduli. Dia tetap berjalan seperti itu, menjaga hati untuk sang kekasih sambil menatap langit sore yang kemerahan.

Akhirnya dia mendapatkan pemahaman baru tentang cinta. Dalam renungannya, cinta muncul sebagai suatu hal yang bebas; lepas dari segala keinginan dan harapan. Ketika masih ada orang yang mencinta dan ia masih menaruh keinginan dan harapan dalam mencinta, maka itu bukan cinta. Cinta itu bebas dari segala embel-embel. “fikirnya.”

***
Sore hampir berakhir, langitnya mulai kehitaman, sang rembulan mulai menunjukan dirinya dan para bintang malam mulai berjajar dalam lingkar semesta. Begitu juga dengan para makhluk malam lainnya; Ada yang berterbangan, ada yang bergelantungan, ada yang mengumpat, dan ada juga yang berdandan. Mereka semua mulai sibuk dengan dunianya masing-masing.

Dia pun tersadar dan mulai cepat-cepat turun dari atas gedung tua itu, udara malam sudah terasa sangat dingin menusuk. Lalu dia berlari, berlomba dengan sang rembulan, berharap malam tak terlalu cepat datang. Dia tidak ingin malam datang saat dia masih terlena dalam renungan senja.
Baginya, malam adalah saat yang paling sakral, ia merupakan gerbang kehidupan  kedua setelah senja. Gerbang pertama—senja— sengaja di habiskan di atas gedung tua dalam alam yang terbuka, akan tetapi gerbang kedua—malam— sengaja dipilih untuk dihabiskan dalam sebuah ruang kosong yang sepi dan sunyi, gelap tanpa cahaya.

Akhirnya dia sampai dirumah, setelah menuruni beratus-ratus anak tangga dan menanjaki terjalnya jalan pinggiran kota. Dia lalu bersiap menghadap Sang Pencipta, dibasuh seluruh tubuhnya dengan air sampai tak ada lagi noda dan bercak-bercak kotoran yang menempel padanya. Di lepaskan semua kegundahan dan keresahan yang di alaminya, fikiran dan perhatian hanya di pusatkan pada-Nya. Hanya pada-Nya, Sang Maha Pencipta, dalam kerendahan dan kepasrahan diri.

Dia memulai memasuki kehidupan malamnya; dikuncinya pintu kamar yang sudah reot itu, lalu lampu pun mulai di padamkan, dan semua persoalan hidup yang sedang di alaminya di lepaskan begitu saja. Dia sendiri dalam gelap dan sunyi, menyanyikan bait-bait pujian untuk sang kekasih, lalu menari dalam lingkaran semesta.


Komentar

Postingan Populer