DIALOG MALAM HARI

Sam, kenapa kau diam saja? Bicaralah! Jangan terus kau pandangi langit yang gelap itu, sam. Nanti kalau kerasukan setan baru tahu rasa kau. Oceh rizal—sambil melempar baru ke arah sam— Ah, sudahlah! kau diam saja zal, aku ingin masuk dalam lembar-lembar kenangan yang telah lama kutinggalkan. Rasanya aku begitu rindu; pada rambut panjang yang aku sayang, perempuan yang aku kagumi, kesucian yang aku nodai, dan pada Tuhan yang aku dustai.

“Alah, bicara apa kau sam! Ocehanmu hanya membuat kupingku sakit, sudahlah, lebih baik kau turun ke bawah ambil sebotol air di sungai, mungkin itu akan membuatmu sadar”. Ucap rizal. “Kenapa tidak kau saja yang mengambilnya? Yang tidak sadar itu kan kau! Aku sadar dengan semua ucapanku”. Balas sam. “Kenapa aku?”, balas rizal. Ya karena kau tidak mempunyai daya imaji yang tinggi, itulah yang membuatmu tidak sadar, zal. Hehehe—sam tertawa sangat puas lalu meninggalkan rizal sendiri—

Plakkk –mendarat sendal di atas kepala sam— aduh. “Tunggu aku”, kata rizal padanya. Jiaunchuk, lambat! Sam, sam, teriak rizal sambil berlari. Aku punya pertanyaan untukmu. Apa? balas sam. “Menurutmu, kenapa bangsa ini tidak pernah maju?”, tanya rizal. “Tak tahu aku, tanyakan saja pada Bapak Presiden. Mungkin dia punya jawaban yang bagus untukmu”, jawab sam. Ayolah sam, jawab pertanyaanku! Aku tahu kau mengerti tentang ini, kau telah lama mempelajari masalah-masalah seperti ini. Aku sungguh ingin tahu sam.

“Kau sungguh ingin tahu, zal? Jika sekarang aku memberimu uang 1 juta, apa yang akan kau lakukan?”. Oceh sam. “Apa hubungannya pertanyaanku dengan pertanyaanmu itu, sam?”, balas rizal. “Sudahlah, kau jawab saja. Jangan banyak tanya,  kau bilang kau sungguh ingin tahu”. Balas sam. “Aku tak tahu apa yang akan aku perbuat dengan uang itu, aku tidak terbiasa memiliki uang sebanyak itu”. jawab rizal. Yasudah, “ucap sam” hahaha.

Mereka berdua tetap berjalan dalam kegelapan malam. Di hati rizal masih tersimpan kegundahan atas pertanyaannya itu. Sam tahu, tapi ia sengaja membiarkan rizal tetap seperti itu; menahan amarahnya. 

“Hei, kalian berdua mau kemana?”, Tanya imam. “Hai mam, kami akan ke sungai mengambil air”. Jawab rizal. “Kalau gitu aku ikut”, balas imam. Malam ini udaranya dingin sekali, sambung imam. Ah itu cuma perasaan kamu saja mam, coba kau tanya rizal, pasti dia tidak merasa kedinginan. balas sam. Apa benar zal? Hebat sekali kamu, udara sangat dingin tapi kamu tidak kedinginan. Ndasmu, saut rizal. 

Sam tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah rizal, imam bingung melihatnya, dan rizal hanya diam saja. Mereka bertiga terus berjalan ke bawah dengan penerangan seadanya dibawah langit hitam temaram. Sampai di tepi sungai sam masih saja tersenyum melihat raut muka rizal yang sedari tadi sudah dilanda amarah, juga karena raut wajah polos imam yang berada tepat disamping kirinya.
Jadi seperti ini zal, ucap sam. menurutku negara ini tidak pernah maju karena faktor manusia yang ada di dalamnya. Tidak usah jauh, lihat saja diri kita sendiri. Jauh di dalam hati ini masih tersimpan nafsu yang teramat kuat; amarah, lawamah, bahimiyah, aniniyah, dst. Kita masih belum mampu untuk mengendalikan semua nafsu itu. Hubungan antara nafsu dan kemajuan suatu negara sangat berkaitan, jika para manusia yang berada dalam suatu negara sudah dapat mengendalikan nafsunya maka akan aku jamin negara ini akan maju dan berkembang.

“Sok tahu kamu, sam”. Ucap imam. Negara ini tak maju-maju karena faktor pejabat yang pada suka korupsi, juga sistem pendidikan yang masih rendah –cuma di kota-kota besar saja yang pendidikannya sudah bagus, desa dan kampung-kampung di daerah terpencil tidak—. Lalu ketersediaan sandang, pangan, dan papan yang sangat sulit di jangkau oleh rakyat kelas bawah menjadikan negara ini tak pernah bisa untuk maju.

“Kau benar, mam, aku sependapat denganmu”. Ucap sam. “Tapi aku masih bingung, sam. Kenapa jawabanmu itu karena nafsu? Bukankah kita memang diciptakan bergandengan dengan nafsu! Jawabanmu itu tidak ilmiah, sam”. Oceh rizal.

“Coba kau baca lagi sejarah bumi pertiwi ini, zal”. Jawab sam. Berapa banyak kerajaan-kerajaan yang pernah mencapai puncak kekuasaan dan akhirnya hancur hanya karena nafsu para pejabatnya. Lihat saja majapahit; yang sejarah mencatatnya sebagai kerajaan terbesar yang mampu menyatukan nusantara ini hancur karena nafsu keserakahan para pejabat dan bangsawan kerajaannya. Lalu kita pun dijajah oleh belanda itu karena faktor keserakahan kaum pribumi, bukan karena kita tak mampu untuk melawan. Sekarang pun begitu,  kita menjadi bangsa yang lemah dan miskin karena faktor keserakahan para elit politik dan pejabat pemerintahan, bukan karena kita bangsa yang bodoh. Sejak dahulu hingga sekarang bangsa kita selalu dijajah oleh keserakahan, dan kita tak pernah mampu untuk mengusirnya.

Tak hanya berhenti disitu, bangsa kita ini adalah bangsa yang sangat senang dipecah belah. Sejak zaman kerajaan, voc, sampai pada Indonesia merdeka kita selalu melestarikannya—pengkotak-kotakan, budaya pecah-belah, dan adu domba. Dan, Itulah yang selalu dimanfaatkan untuk menguasai indonesia, tanpa harus mengotori tangannya sendiri (baca: asing) mereka sudah mampu menguasai Indonesia.

Bagiku, Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa hanya sebuah jargon semata. Para elit politik dan pejabat kita saling berebut kekuasaan hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata, bukan untuk memajukan bangsa. Tradisi itu sepertinya sudah meng-akar sampai kepada para mahasiswa yang dianggap sebagai penerus bangsa.

Karena alasan itulah aku menganggap nafsu—keserakahan yang tak pernah terkendali—  yang membuat bangsa ini tidak pernah maju. Bangsa kita ini belum pernah khatam dengan masalah nafsu. Mungkin banyak orang-orang yang sudah dapat menguasai tentang masalah nafsu—menjadi tuan dari nafsunya— tapi orang itu—mungkin bisa dihitung dengan jari— tidak  pernah muncul ke permukaan, dalam artian tidak berusaha merubah dengan jalan politik; karena kita dalam sebuah negara. Orang-orang seperti itu hanya berada dalam zonanya sendiri, tapi bukan berarti ia diam. Dan, Aku tahu, orang-orang itu berjuang; hanya saja perjuangannya itu tidak dapat membuat perubahan besar untuk bangsa ini.

“Jadi menurutmu sangat mustahil bagi kita ini untuk bisa menjadi bangsa yang maju, sam?” Tanya imam. Kurang lebih seperti itu, mam. Siapapun presidentnya tak akan mampu; karena kita sedang berperang dengan bangsa sendiri, bangsa Indonesia, rakyat Indonesia.

“Lantas apa yang harus dilakukan untuk merubah bangsa ini, sam”. Tanya rizal. “Ah, Pertanyaanmu itu cukup menggemaskan, zal. Lebih baik sekarang kau ambil air itu dan kau masukan kedalam botol, kita sudah cukup lama berada di tepi sungai ini. Mari kita pergi”, jawab sam sambil berlalu meninggalkan imam dan rizal.

Hey sam, juanchuk kamu. Tunggu! Teriak rizal. Imam berlari mengejar sam, rizal pun mengikutinya sambil terus berteriak, “juanchuk”. Sam tidak membalas teriakan rizal, ia terus tersenyum mendengar teriakan itu, lalu ia pun berhenti dan mengambil sebatang rokok dari saku bajunya. Sambil menunggu kedua kawannya tiba, ia menatap langit yang makin hitam, lalu membakar dan mulai menghisap rokoknya.

“Jadi gimana, sam? Pertanyaanku belum kau jawab”, ucap rizal yang baru sampai menghampiri sam. “Tenanglah, kau berdua duduk saja dulu. Langit malam semakin gelap, lihatlah, tak ada satupun bintang yang bersinar”. Jawab sam. “Malam ini memang sedang mendung, jadi tak usah kau harapkan para bintang akan bersinar, sam”. Balas imam.

“Ah, aku tidak tahu kalau malam ini sedang mendung”, jawab sam. Kau tidak tahu apa pura-pura tidak tahu, sam? Tanya rizal. “Hehehe”, sam tertawa. Aku memang pura-pura tidak tahu, zal. Sama sepertimu yang pura-pura tidak tahu jawaban dari pertanyaanmu. “Aku memang tidak tahu, sam, bukan pura-pura tidak tahu”. Balas rizal.

Yasudah zal, aku akan menjawab pertanyaanmu  itu. sahut sam. Yang sedang di butuhkan oleh bangsa kita saat ini adalah revolusi mental. Dan untuk mewujudkan itu tidaklah gampang, kita semua harus siap untuk berubah; dimulai dari diri kita sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, dan masyarakat indonesia khususnya. Tak ada lagi pengkotak-kotakan berdasarkan agama, ras, warna kulit, suku, gender, dan status sosial, semua sama –tidak ada yang merasa lebih unggul ataupun mulia.

“Kurang lebih seperti itu, zal. Apa kau sanggup untuk berevolusi, sekarang?” tanya sam. “Hehehehe—rizal tertawa sambil menggaruk-garuk kepala— aku tak tahu, sam”. Jawab rizal. “Dasar, juanchuk kau, zal.” oceh sam.


“Sam”, panggil imam. Adakah sesuatu yang dapat dilakukan oleh bangsa kita selain revolusi mental yang kau bilang itu?, tanyanya. “Ada, mam" jawab sam. “Apa?” Sahut rizal. “KIAMAT”, jawab sam sambil berlalu dan tertawa.



Komentar

Postingan Populer