SEKOTAK CERMIN


Seperti biasa, ketika aku berhadapan dengannya yang ada hanyalah sebuah cacian. Aku bosan mendengarnya. Sudah sejak lama keadaannya seperti ini—saling menghujat—, ingin rasanya aku mengakhirinya, tapi aku tak bisa. Perasaanku menjadi kacau tiap kali bertemu dengannya. Sering aku mencoba menghindar darinya, menjauhkan diriku dari dirinya dan berharap agar tidak bertemu lagi dengannya, tapi tak bisa. Usahaku sia-sia. Dia tetap ada dalam setiap perjalananku.

Dia selalu saja bertanya dengan pertanyaan yang sama tiap kali berjumpa denganku. “Apa yang akan kau lakukan lagi setelah semua nikmat telah kau rasakan dan semua maksiat telah kau kerjakan?  Adakah sesuatu yang terlupa –nikmat dan maksiat—yang belum sempat kau dapatkan dan lakukan? Masih inginkah kau berkeluh kesah?”

Menurutku, tidak ada nikmat dan maksiat yang terlupa; yang belum sempat kau dapatkan dan kerjakan!. Aku ingat semua maksiat yang pernah kau lakukan, mulai dari hal yang terkecil sampai pada hal-hal besar yang merugikan orang. Kau sadar waktu melakukan itu semua, tidak ada kata khilaf dalam setiap lakumu –malah kau merasa senang ketika melakukan semua perbuatanmu itu.

Aku sudah lama memperhatikanmu; ketika kau sendiri kau menjadi sangat beringas, tapi ketika kau berada diantara kumpulan manusia kau berbeda –terlihat begitu baik—, ah, aku muak dengan tingkahmu itu.

Kau sudah terlalu lama berkawan dengan kebohongan. Hidupmu selalu dipenuhi dengan bualan. kau terlalu lemah untuk berkata jujur. Perbuatanmu sangat bertentangan dengan nurani. Setiap perbuatanmu selalu diselimuti dengan bermacam topeng; mulai dari perkara kecil sampai pada perkara-perkara besar. Kau hidup dengan benteng yang begitu besar, kau tidak rela jika ada seseorang yang berkata dan menilai bahwa kau tidak baik, buruk, dan jahat.

Tak pantas rasanya jika kau mengeluh atas cobaan dan ujian yang menimpa hidupmu itu. Kau terlalu lama mengabaikan nikmat yang telah diberikan padamu, dan kau terlalu lama meratapi kekurangan yang ada pada dirimu. Kau tak pernah sedikitpun bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan padamu.

Darrr, kaca itu  pecah—kulempar dengan botol, serpihannya berceceran dilantai. Aku bangkit lalu pergi meninggalkannya. Aku tak perduli lagi pada semuanya. Aku ingin sendiri. Kau tinggal disini, jangan pernah kau ikuti aku lagi, aku muak.

“Suasana menjadi hening”.

Komentar

Postingan Populer