MATA-MATA

Telah lama kucari, sepasang mata yang begitu indah; yang begitu suci dan tak ada sedikitpun kenistaan padanya. Tatapannya adalah sebuah kejujuran, darinya sebuah keindahan dilukiskan, dan padanya kebesaran Tuhan ditunjukan.


Kata orang ia selalu setia—ketika mata-mata yang lain terpejam tak sadarkan diri—dan   juga tak pernah berkeluh kesah. Ia selalu menjaga sang malam—tak rela rasanya jika ada satu malam pun yang terlewatkan dari penjagaannya. Di tengah kesetiaannya itu, ia selalu meneteskan butiran-butiran halus yang membuat cemburu sang rembulan. 

Di kampungku, hanya ada satu orang yang memilikinya. Dia biasa di panggil dengan sebutan “Bapak”. Kini usianya kurang-lebih 70 tahun, dan penyakit sudah banyak yang menghampirinya. Meski seperti itu, dia masih terlihat sehat—fisiknya masih bagus, dan dia masih suka berpergian seorang diri. Dia begitu bersahaja dan bijaksana sehingga sangat disegani. Hampir seluruh warga kampung ingin belajar padanya, mulai dari para remaja sampai orang tua. Mereka semua berharap dapat memiliki mata sepertinya.

Aku adalah seorang pemuda yang berusia 23 tahun. Aku mengenal bapak sudah sangat lama. Sejak masih di sekolah dasar aku sudah belajar padanya. Jika dihitung dengan angka, maka usia perkenalan aku dengannya sudah 13 tahun. Menurutku, aku termasuk salah seorang muridnya—yang paling susah di atur, di arahkan, dan di ajarkan. 

Aku pun sama seperti mereka, ingin sekali rasanya memiliki mata sepertinya. Mata yang kata orang dapat melihat seluruh alam beserta isinya tanpa ada sedikit hijab yang menyelimuti. Mata yang selalu dipenuhi dengan pancaran cahaya. Dan mata yang tak pernah lelah untuk terjaga. 

Sering aku mencoba untuk memilikinya. Segala daya dan upaya kulakukan agar aku mendapatkannya. Malam dan siang aku habiskan dengan mencarinya. Tapi semua itu percuma saja, hanya  lelah yang menghampiriku. 

Pernah suatu hari Bapak berkata padaku: “Jika kamu ingin memiliki mata seperti ini maka kamu harus sanggup untuk mengalahkan semua keinginanmu; termasuk keinginan untuk memiliki mata ini. Jika kamu sudah mampu melakukan hal itu niscaya kamu akan memilikinya. Dan ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui: jika kamu merasa sudah memilikinya, maka sebenarnya kamu tidak pernah memilikinya.” 

Aku terdiam, aku tidak mengerti ucapan yang dilontarkan bapak. Aku ingin bertanya padanya tapi aku tidak berani, aku takut jawaban bapak akan membuatku tambah pusing. Lebih baik aku diam sambil memikirkan ucapannya, apa maksud yang ingin disampaikan olehnya.

Bapak berlalu, pergi dan tak kembali. Tinggal aku sendiri dalam ragu. Tiap hari ku habiskan dengan berfikir—makna apa yang terkandung dalam ucapan itu. Hampir 40 hari aku berfikir, dan akhirnya aku mengerti!. Aku ingat, dulu aku pernah memilikinya. Ketika aku masih berkawan dengan bintang dan rembulan, juga para kekasih-Nya. Saat itu banyak sekali cahaya-cahaya yang datang menghampiriku, mereka menjadi penerang dan petunjuk bagi jalanku. Ketika aku sedih mereka datang dengan berbagai warna yang indah; mereka menghiburku sampai aku lupa kesedihan yang kualami. Ketika aku sakit mereka setia menjagaku; siang malam. Dan ketika aku salah mereka selalu datang menasihatiku, lalu menuntunku agar tidak mengulanginya lagi.

Ah, sepertinya itu hanya bayang semu. Fikirku. Aku tak pernah benar-benar memilikinya. Aku hanya merasa bahwa aku pernah memilikinya: dan perasaan itu tidaklah benar. Aku tertipu bayang imaji. Aku terlalu bodoh menganggap pernah memilikinya. Mata itu tak akan pernah ku miliki, ia hanya akan datang kepada para pecinta sejati.



Komentar

Postingan Populer