JANGAN PANGGIL KYAI
Menyadari
atau sadar itu tidak cukup hanya dari ilmu dan iman (baca: percaya) dalam
kapasitas otak, akan tetapi harus dari hati. Alat yang dapat digunakan agar
bisa menajdi sadar adalah dengan melakukan mujahadah terus menerus.
Kata
bapak—seorang guru yang enggan sekali jika dipanggil dengan sebutan kyai. Mujahadah
itu hanyalah alat, bukan tujuan. Kalau dijadikan tujuan yang ada hanya
itung-itungan. Wushul kepada Allah itu bukan mencari kramat. Wushul kepada
Allah itu berarti sudah lepas dari segala keinginan, lenyap pada kehendak
Allah, terserah Allah mau bagaimana.
Tentang karomah, bapak selalu bilang
bahwa setiap wali sudah pasti mempunyai karomah, tapi tidak semua orang yang
mempunyai karomah bisa disebut sebagai wali. Para wali jarang sekali menunjukan
karomahnya, karena karomah di dalam jalan menuju Tuhan hanyalah sebatas mainan
anak kecil. Yang berat adalah istiqamah!
***
Bapak, panggilanku sehari-hari
padanya. Pernah dalam suatu pengjian rutin malam jumat bapak di panggil dengan
sebutan kyai, lantas bapak marah sambil menggebrak meja. Katanya, cukup panggil
saya dengan sebutan Bapak, jangan ditambahi. Sebagai seorang murid, kami merasa
serba salah. Memanggilnya dengan sebutan bapak (saja) rasanya kurang adab, tapi
memanggilnya dengan sebutan kyai kami juga tidak berani.
Jika di telaah lebih dalam, bapak
memang pantas jika dipanggil dengan sebutan kyai. Menurutku, kiyai berasal dari
kata ‘Ki Ageng’ yang berarti orang yang sudah sepuh, di hormati,
berpengetahuan luas (khususnya dalam bidang agama), dan memiliki kedalamam
spiritual. Dari kriteria itu, bapak sudah pantas di sebut kiyai. Usianya pun
sudah lebih 70 tahun, mengerti tentang ilmu-ilmu islam, dan setiap malam jumat
di rumahnya pun di adakan pengajian al-Hikam. Ah, sudahlah! masalah predikat
itu tak lagi penting.
Dalam kehidupan sehari-hari, bapak
selalu berusaha mencontohkan kepada murid-muridnya prilaku ‘yu’ti kulla dzii
haqqin haqqoh’ yang berarti mengisi dan memenuhi segala bidang kewajiban
tanpa menuntut hak. Baik kewajiban-kewajiban terhadap Allah wa Rosulihi SAW,
maupun kewajiban-kewajiban dalam hubungannya di dalam masyarakat di segala
bidang dan terhadap makhluk pada umumnya.
Dan contoh itu selalu diiringi dengan
prinsip ‘Taqdimul aham fal aham tsummal anfa fal anfa’ yang berarti di
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut supaya mendahulukan yang lebih
penting. Jika sama-sama penting, supaya dipilih yang lebih besar manfaatnya.
Dalam hal adab, bapak tidak ada
duanya. Jika disebut nama gurunya saja bapak langsung menunduk dan kepada
anak-cucu gurunya pun bapak menunduk. Tak pernah sekalipun bapak menentang
mereka. Jika ditanya tentang suatu permasalahan bapak selalu diam, dan selalu
menjawab dengan kata-kata ‘saya tidak mengerti’. Seandainya dijawab pun selalu
dengan kiasan-kiasan.
Kepada
murid-muridnya, ah, bapak memang pantas disebut sebagai bapak (baca: orang tua
sendiri). Bapak begitu menyayangi mereka, bapak tidak rela membiarkan para muridnya
hidup dalam kekosongan. Karena begitu sayang pada murid-muridnya, sering kali
di antara mereka ada yang memanfaatkan kondisi tersebut. Tak jarang bapak di jadikan
tameng atau alasan untuk membenarkan kesalahan yang telah diperbuat oleh para
muridnya itu. Juga sering kali para muridnya itu mengatas-namakan diri bapak
untuk kepentingan pribadi.
Pernah
suatu ketika aku bertanya padanya. Kataku, “Pak, kenapa bapak selalu mengikuti
semua permintaan dan keinginan teman-teman? padahal bapak tahu, mereka hanya
mengikuti nafsunya saja.” Dengan entengnya bapak menjawab; “Kamu mau saya
perlakukan seperti itu –saya turuti semua keinginan kamu? biarkan saja mereka
seperti itu, nanti mereka akan hancur dengan sendirinya jika tidak mau berubah.”
Mendengar
jawaban seperti itu. aku pun diam, lalu berkata “tidak pak, saya tidak mau”.
Yasudah, jika kamu tidak mau saya perlakukan seperti itu maka kamu tidak perlu
risih lagi, biarkan saja mereka seperti itu adanya. “Jawab bapak”.
Komentar
Posting Komentar