KATAKU, KATANYA




“Apa yang membuat kita tetap hidup?”
Pertanyaan itu selalu saja terlontar dan terus menghantui. Padahal sudah sering ku katakan padanya, jangan terus kau memikirkan hal-hal seperti itu: “Hidup tetap butuh makan, butuh usaha, juga kerja!” Kataku padanya, berulang kali; dan dia tetap saja menolak! Katanya “Cinta, cinta, dan cinta! Aku seorang pecinta, dan aku hidup dalam cinta—sambil terus menari. Kasih sayang selalu menyelamatkan kita dari murka-Nya, dan cinta selalu menjadi alasan-Nya. Itulah yang membuat kita tetap hidup.

“Bodoh!” Kataku. “Siapa? Aku! Ya, aku memang bodoh, cinta membuatku seperti ini, dan aku tidak akan pernah sekalipun menyesal apalagi sampai mengutuknya. Aku terlahir dari cinta, sila saja kau menyebutku bodoh, aku tidak terpengaruh.” Katanya.
“Alah, kau hanya pura-pura! Aku yakin, dalam dirimu masih ada yang selain-Nya. Aku berani bertaruh denganmu!” Kataku. “Bagaimana kau bisa yakin? Sedang dirimu itu adalah kemungkinan!” Katanya.
 “Ah, pusing aku bicara denganmu! Kataku.
“Sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu.” Katanya. “Kau jangan terlalu sibuk dengan diriku. Aku tidak akan berubah sedikit pun, kau tenang saja. Cinta memang seperti ini, kau tak perlu memahami atau mengerti tentang keadaan yang sedang aku alami. Kau cukup diam dan rasakan getaran-getaran yang timbul dari seorang kekasih yang sedang dilanda cinta. Jika kau risih kau boleh  menjauh, karna aku tidak akan pernah bisa menjelaskan dan membahasakan perasaanku lewat kata-kata.”
Kataku; “Bagaimana mungkin aku bisa mengerti, jika kau hanya menyuruhku diam dan melihat ekspresi-ekspresi yang kau ciptakan tanpa ada sedikit pun penjelasan lewat kata-kata darimu? Itu mustahil!
“Aduh, kau terlalu pesimis! Dalam cinta tidak ada kata mustahil. Jika kau benar-benar ingin mengerti, maka yang harus kau lakukan pertama kali adalah tunduk pada aturan kasih sayang. Kau harus lebur di dalamnya, dan tak ada lagi kebencian yang tersisa dalam dirimu. Menurutku itu cukup bagimu.” Katanya.


Komentar

Postingan Populer