SEORANG ANAK YANG MERDEKA

Ada yang berbeda pada ayah saat usianya hampir senja—bukan tentang menurunnya kualitas fisik dan panca indra, bukan. Sekarang ayah tidak lagi  bertindak keras dalam mendidik; khususnya dalam bidang agama. Aku tahu, mungkin ayah sengaja membiarkan kami para anak-anaknya bertindak sesuka hati. Tapi aku yakin, jauh di dalam hatinya yang terdalam tersimpan kekhawatiran yang maha dahsyat, yang selalu bergejolak setiap saat.

Aku tahu, ayah mengetahui semua tindak-tanduk yang kami lakukan. Khususnya diriku; ayah tahu mulai dari hal-hal yang bersifat remeh-temeh sampai pada hal besar yang merugikan diriku sendiri dan orang lain. Dan aku juga tahu, ayah sengaja diam –bukan tanpa alasan. Diamnya ayah adalah kesabaran –karna sabar adalah proses pengendalian diri disaat mampu untuk bergerak dia tak bergerak, disaat mampu berkata dia tak berkata, dan disaat mampu untuk merubah dia tak merubah.

Sebenarnya ayah masih sering memberiku pelajaran, hanya saja caranya yang berbeda –tidak seperti dulu waktu aku masih kecil, yang sering langsung dimarahi bahkan tak jarang sampai menggunakan kekerasan—Metode yang digunakan ayah untuk memberiku pelajaran adalah dengan cara sindiran.

Pernah suatu ketika saat ayah sedang mengobrol bersama sahabatnya dan aku ikut gabung dalam obrolan itu. Mereka sedang asik berbicara masalah perkembangan dan pendidikan para anak-anaknya. Sahabat ayah menceritakan tentang kekhawatiran perkembangan anaknya itu, ia takut apa yang dilakukannya pada masa muda di ulang kembali oleh anaknya. Ia selalu dihantui oleh rasa takut, ketika anaknya pergi malam hari tanpa kabar ia menjadi sangat was-was, ketika anaknya kumpul bersama temannya ia pun menjadi khawatir jika yang di lakukannya sama seperti yang dulu pernah ia lakukan—minum-minuman keras, memakai narkoba dan pergaulan bebas.

Ayah pun tersenyum lalu membalas ucapan sahabatnya itu. Seperti tanpa beban ayah berkata “aku tak pernah khawatir terhadap anak-anakku, karena saat aku muda, aku tak pernah sekalipun berbuat yang seperti kau lakukan dulu –memakai narkoba, minuman keras, dan sex bebas—. “Jadi, aku percaya padanya”, katanya –sambil melihat ke arahku.

“Dia—aku— itu jarang sekali pulang kerumah, kerjaannya main keluar kota, tak pernah mengabari, lalu jarang pula aku kasih uang.” Kata ayah sambil menunjuk aku ke sahabatnya. Dan aku tidak pernah merasa khawatir padanya. Aku yakin dia sudah besar, dia tahu mana jalan yang baik yang harus ditempuh dan mana jalan buruk yang harus ditinggalkannya. Tugas kita para orang tua hanya membekali dan menunjukan jalan yang baik untuk mereka, selebihnya terserah mereka. Toh hidupnya itu mereka yang jalani, dan mereka juga yang akan menanggung resiko dari semua jalan yang dipilihnya.

Mendengar ucapan ayah itu aku tertawa, tapi hanya dalam hati –tanpa merubah mimik wajah dan bahasa tubuh—. Aku tahu,  ayah sedang menyindirku lewat sahabatnya itu.  Tapi tak apa, aku senang, karena itu adalah salah satu bentuk komunikasi yang dilakukannya padaku. Dan itu menunjukan bahwa ayah masih perduli dan perhatian terhadap diriku, walaupun dengan cara sindiran yang sangat halus. Aku hargai usahanya itu.

Mungkin baginya, ini adalah pertarunganku, dengan diriku sendiri. Cukuplah bekal yang telah disiapkannya untukku sedari kecil, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk membuktikan apa yang telah dilakukannya sejak dulu. Apakah aku termasuk dalam golongan orang yang beruntung atau tidak. 

***
Aku dan ayah memang jarang sekali berbicara, apalagi bercerita tentang kehidupanku sehari-hari. Aku lebih sering bercerita dan berbicara pada ibu; mulai dari hal-hal kecil sampai pada hal-hal besar yang rumit. Walaupun begitu, aku tetap hormat dan segan padanya. 

Kadang aku merasa malu, dan sangat malu padanya. Ucapannya sering membuatku terkejut, bahkan sampai membuatku tidak berani untuk bertatap muka lama-lama dengannya, apalagi sampai menatap matanya. Tapi karena kebodohan dan ketololanku, semua hal itu aku abaikan begitu saja.  Aku tetap berjalan sesuai keinginanku, apa yang ingin aku lakukakan aku lakukan dan apa yang ingin aku tinggalkan aku tinggalkan. Tak peduli itu baik ataupun buruk, benar atau salah.

Dan yang pasti aku tidak akan pernah menyalahkan kedua orang tuaku atas apa yang telah aku perbuat. Aku dibesarkan dengan sebuah tanggung jawab, ketika aku sudah memutuskan suatu jalan yang ingin kutempuh maka aku harus berani untuk menyelesaikan pilihanku itu. Sesulit apapun harus aku lalui. Itulah prinsip yang selalu diajarkan oleh ayah.

Aku selalu ingat pesan yang sering ayah ucapkan dahulu, “jika kamu ingin berhasil dalam hidup maka kamu harus mengamalkan tujuh prinsip yang pokok; Mencintai Tuhan –berarti mencintai semua makhluk yang hidup dibawah naungannya, dengan segala sifat-sifatnya—, Sabar. Ikhlas. Tawakal, Tanggung Jawab, Kerja Keras serta Cerdas, dan Rendah Hati. Jika tujuh prinsip itu telah kamu lakukan maka ayah bisa menjamin bahwa kamu akan hidup bahagia,  bukan hanya di bumi tapi di  alam setelah kematian kamu akan tetap bahagia.”

Dan, pesan itulah yang selalu aku terapkan dalam menjalani hidup di dunia ini, walaupun kadang-kadang aku masih tidak bisa menjalankan dengan sungguh-sungguh, tapi aku tetap berusaha, dan aku tidak akan pernah melupakan pesan itu. Hanya saja jalanku berbeda dalam memaknainya.

Dalam hal cinta pada Tuhan, aku berbeda. Aku cinta pada Tuhan, tapi proses cintaku tidak sama dengan cara orang-orang umumnya. Aku mencintai-Nya dalam kesalahan yang kuperbuat, dalam kemalasan yang kulakukan, dan dalam kekosongan yang menyelimuti. 

 Karena menurutku sayang jika aku harus melewatkan segala sesuatu yang sudah dihamparkan di atas muka bumi ini tanpa belajar mengetahui dua sisi secara langsung. Aku tidak akan tahu warna itu putih jika aku tidak masuk dalam hitam, aku juga tidak akan tahu itu kebaikan jika aku tidak dalam keburukan, dan aku tidak akan tahu rasanya kenikmatan jika aku tidak mengalami penderitaan. 

Aku tidak ingin mencintai karena cerita orang, aku tidak ingin melakukan sesuatu kebaikan karena pendapat orang, dan aku juga tidak ingin meninggalkan sesuatu keburukan karena anggapan orang. Aku ingin mengetahui semua keindahan dan keburukan dengan ilmuku sendiri, bukan ilmu ataupun pengetahuan orang lain.

Aku seorang anak yang merdeka dalam menentukan jalan hidup. Bukan karena kedua orang tua aku menjadi baik. Bukan karena pergaulan aku menjadi buruk. Dan bukan karena takut neraka aku  mencintai Tuhan. Bukan!

   

Komentar

Postingan Populer