SANG MARTIR
Adalah dia, seorang seorang lelaki yang berwajah tampan, tubuhnya
tinggi dan kekar, sorot matanya tajam bagaikan pisau, rambutnya panjang
tergerai; hitam bagaikan arang, senyumnya begitu menenangkan, dan kulitnya
putih bersinar.
Dia adalah pejuang yang dikerdilkan sejarahnya. Dia bagaikan tanah
yang rela untuk diinjak, diludahi, diberaki, dikencingi, dan ditumbuhi makhluk
yang berada diatasnya. Tak pernah sedikitpun dalam hatinya terbersit perasaan
ingin dikenal oleh banyak orang. Apalagi sampai di puja. Hidupnya selalu
dihabiskan dengan membagi semua yang dimilikinya—ilmu, tenaga, fikiran, dan
harta. Tak ada satupun yang tersisa yang belum sempat dibagikan kepada
orang-orang disekelilingnya.
Dia begitu bijaksana dan bersahaja sehingga banyak sekali
orang-orang yang cinta padanya. Kesombongan telah hilang dari dalam dirinya,
keangkuhan telah lari darinya, dan kekikiran pun tak pernah berani untuk
menghampirinya, yang tersisa dalam dirinya hanyalah kesabaran dan kasih sayang.
Dia menjadi sosok ayah bagi seorang anak yang kehilangan arah, menjadi suami
bagi para janda yang ditinggal mati oleh lakinya, juga menjadi anak bagi
seorang ibu yang kesepian. Dia adalah panutan bagi orang-orang yang kehilangan
harapan.
Sepanjang hidupnya, dia selalu meneriakan kemerdekaan. Ajaran yang
diusungnya adalah kesetaraan, kesalamatan dan kasih sayang. Menurutnya, di alam
dunia ini tidak ada satu pun manusia yang pantas untuk merasa mulia, apalagi
sampai muncul perasaan ingin menguasai manusia lainnya. Kemuliaan hanya milik
Tuhan semata, manusia hanya dipinjamkan sedikit oleh-Nya.
Ajarannya itu menuai banyak protes, dan banyak kalangan yang
menginginkan dia mati. Mulai dari para penguasa sampai pada tokoh agama. Mereka
khawatir ajaran yang dibawa olehnya akan merusak tatanan yang sudah tersusun
sesuai keinginan para penguasa dan pemuka agama. Para penguasa takut jika
orang-orang yang belajar padanya akan menuntut hak kemerdekaannya, dan pemuka agama
pun takut jika khutbahnya tak lagi didengarkan, mereka semua benar-benar dibuat
takut olehnya.
Untuk menghentikan perjuangannya, maka para penguasa dan pemuka
agama mulai menyusun siasat untuk dimainkan. Sedikit demi sedikit ruang
lingkupnya dipersempit, lalu para penguasa dan pemuka agama mengeluarkan
maklumat kepada masyarakat untuk tidak belajar dan berguru padanya. Setiap
orang yang perduli padanya harus dihabiskan (baca:mati). Semua ajaran yang
disampaikannya dianggap sesat dan semua orang yang mengikuti ajarannya dianggap
murtad. Ajaran yang benar adalah ajaran yang dibawa oleh sang penguasa,
selainnya kafir. Jika ada yang tidak setuju dengan sang penguasa maka resikonya
adalah mati.
Sang penguasa dan pemuka agama tidak hanya berhenti disitu, mereka juga
membuat keonaran dengan memunculkan isu bahwa para murid yang berguru padanya
sering menggangu ketertiban—mencari mati— dan perjuangannya itu harus segera di
padamkan.
***
Dia tetap saja tidak perduli dengan isu-isu yang ditujukan padanya,
segala cobaan dan rintangan yang menghalangi perjuangannya dianggap sebagai
hadiah untuknya. Menurutnya, dalam setiap perjuangan akan selalu ada
pro-kontra, dan orang-orang yang kontra terhadap perjuangannya dianggap sebagai
kawan yang paling setia—karna orang yang kontra akan selalu mengkritisi apa
saja yang dilakukannya, dan itulah yang selalu dijadikan sebagai bahan evaluasi
dalam setiap perjuangannya.
Dan akhirnya perjuangannya membuahkan hasil, semakin hari murid
yang belajar padanya bertambah banyak, mulai dari rakyat biasa sampai pada para
punggawa. Mereka datang dari segala penjuru dengan satu tujuan: ingin belajar
tentang kesempurnaan hidup—merdeka, selamat, dan memahami kesejatian diri.
Keberhasilannya itu tidak serta-merta membuatnya lupa diri dan
sombong, melainkan membuatnya semakin merendah. Ibarat padi yang menguning,
semakin berisi maka semakin menunduklah dia. Dan dia pun semakin giat berjuang
agar semua orang cepat-cepat sadar akan kemerdekaan hidup, kesetaraan,
keselamatan, dan kasih sayang.
Dalam perjuangannya dia tak pernah pandang bulu—ras, agama, dan
status sosial— perjuangannya bersifat umum, adil untuk semua kalangan, tidak
ada yang dibeda-bedakan. Menurutnya semua manusia itu sama, yang membedakan
hanyalah ketakwaan di hadapan Sang Pencipta.
***
Kehidupan selanjutnya dipenuhi dengan misteri-misteri yang dibangun
oleh penguasa. Sejarah hidupnya dipalsukan, kematiannya pun di rekayasa. Intrik-intrik
politik sangat kental mewarnai kematiannya, mulai dari pembunuhan sampai proses
pemakaman. Semua itu demi kepentingan sang pengusa dan pemuka agama. Mereka
tidak ingin dia menjadi sosok yang diikuti, dihormati, dan disegani. Ajarannya
pun di musnahkan bersama kematiannya.
Para murid dan pengikutnya yang masih tetap menjalankan ajarannya
harus di habiskan. Kekhawatiran dan kesombongan telah merasuk dalam jiwa-jiwa yang
bimbang; yang menimbulkan sedikit demi sedikit penyakit hati. Sang penguasa dan
pemuka agama telah terjangkit, dan kini penyakitnya telah memuncak sampai pada
klimaks yang membutakan hati nurani.
Dialah Sang Martir, pejuang yang tak pernah mati. Abadi dalam
ajarannya. Meskipun dogma negatif tentang dirinya telah mengakar dalam diri setiap
orang; sejak generasi pertama pasca dia mati sampai pada generasi saat ini,
namanya tetap saja harum. Dia akan selalu dikenang oleh orang-orang yang
mencintainya.
Tabik...
Komentar
Posting Komentar